Kita Belum Paripurna ( Mari Bercermin)

Oleh Muhajir Juli
Dalam sebuah kesempatan saya sempat berdiskusi dengan seorang anak muda yang mengaku dirinya sebagai orang yang sangat mencintai agama. Bahkan dia mengaku rela mati demi agama. Baginya agama adalah hal yang suci dan tidak bisa ditawar-tawar dengan asas kebenarannya.

Pada tahap ini saya sangat setuju sekali. Bahkan saya menjadi sangat antusias mendengarkan setiap untaian kalimatnya yang sangat gemar “memaki” para pelanggar syariat agama. Hampir saja saya mengatakan luar biasa kepada lelaki lawan bicara saya itu.

Namun pelan-pelan simpati saya mulai hilang. Sebab semakin banyak dia bicara, semakin nyata bagi saya bahwa definisi agama yang kami anut, menurut dia adalah tergambar sebagai sesuatu yang keras, kaku, tanpa ampun dan gemar menghukum.

Apalagi ketika dia menyinggung masalah rajam, potong tangan, bakar orang sesat dan lain-lainnya. termasuk pula dia menggugat Undang-undang perlindungan anak dengan begitu semangatnya.

“UU Perlindungan anak itu produk kafir. HAM itu punya Yahudi. Kita umat Islam tidak harus tunduk pada aturan nasional peninggalan Belanda, aktivis kemanusiaan itu tukang jilat pantat kafir, bahkan para aktivis itu akan rela menjual anak dan istrinya demi menyenangkan kafir sebagai tuannya,”

Astagfirullah, luar biasa sekali anak muda ini menghujat sesamanya. Tanpa fakta, hanya sekedar asumsi. Ah, betapa dangkal dia memahami agama ini. Sungguh merugi.
***
Apa yang saya ceritakan diatas adalah sebuah kenyataan sekaligus fenomena. Banyak diantara kita yang “terlanjur” mengatakan cinta kepada Islam. Namun di sisi yang lain, mempelajari Islam hanya kulitnya saja.
Bahkan tidak sedikit yang hanya mendengar sepintas, tanpa mau belajar secara utuh apa itu agama.

Saat mengatakan aktivis kemanusiaan sebagai antek kafir, kita menjadi lupa, bahwa kita belum sempat mengenal mereka secara dekat. Kita lupa bertanya: mengapa mereka punya pandangan yang berbeda dengan kita tentang penegakan syariat?

Apakah mereka kafir Nasrani, Yahudi atau Majusi? Ataukah mereka punya ilmu lain yang kita tidak punyai selama ini? Mengapa ini tidak kita kritisi?

Untuk membulatkan pemahaman kita tentang maksud tulisan ini. Baiklah saya rawikan sedikit masalah. Sebut saja masalah rajam yang akhir-akhir ini menjadi kalimat yang populer dibincangkan diberbagai kalangan.

Ada pihak yang meminta agar hukuman rajam diberlakukan di Aceh? Pihak lainnya mengatakan bahwa belum saatnya rajam diberlakukan di Aceh.

Dari berbagai diskusi yang penulis lakukan dengan berbagai pakar, terdapat satu kesimpulan, bahwa kedua pendapat itu, baik yang mendukung dan menolak merupakan jawaban yang benar, yang memiliki sisi pandang yang berbeda.

Untuk urusan zina misalkan, rajam diberlakukan bagi mereka yang sudah pernah menikah namun kemudian tertangkap berzina. Nas Al-Quran sendiri telah panjang lebar menyebutkan hukuman terhadap seorang penzina.

Pihak yang mendukung mengatakan, dengan diterapkan rajam, maka perilaku zina akan berkurang (bahkan akan hilang) dari masyarakat. Sebab mereka akan takut dengan ancaman hukuman.

Pihak yang menolak penerapan hukum rajam mengatakan bahwa untuk konteks Aceh hari ini, hukuman tersebut belum sesuai diterapkan. Sebab tingkat ketidaktahuan masyarakat Aceh terhadap Islam masih sangat tinggi.

Bilapun kemudian hukuman tersebut diterapkan, maka sungguhnya pemerintah akan disibukkan dengan aktivitas menghukum orang setiap hari. Dan ini tidak akan menjawab persoalan.

Bila kita bicara persoalan efek jera, maka sungguh naif bila kita katakan bahwa dengan adanya rajam, maka perilaku zina akan berkurang, sebab rasa takut tadi.

Saat mengatakan demikian, kita lupa, bahwa tidak ada ketakutan bagi orang bodoh. Orang jahil tidak akan punya rasa takut. Sebab jahil itu tidak punya ilmu, tidak berilmu seseorang, maka ketiadaan imanlah dia. Sebab iman ditopang oleh ilmu yang mumpuni.
***
Bila kita semua serius ingin memajukan Islam di Aceh, maka marilah kita ubah cara pandang dan tindakan. Islam tidak akan maju dengan hujatan, makian, pembakaran gereja, membakar orang yang diduga sesat dan tindakan anarkis lainnya.

Aceh belum masuk kategori yang harus menerapkan perang demi terwujudnya keagungan Islam. Yang dibutuhkan adalah dakwah yang damai. Contoh teladan yang baik baik dari umara maupun ulama.
Ini yang harus ditunjukkan. Perilaku rakyat tidak akan bagus dengan adanya larangan mengangkang. Umat tidak akan alim dengan penyerangan pesantren yang diduga menyebarkan aliran sesat. Wanitapun tidak akan baik akhlaknya dengan razia celana dan baju ketat.

Sudah terlalu banyak peraturan dinegeri ini yang memberikan ancaman hukuman kepada rakyat. Namun lihatlah kenyataan. Semakin banyak larangan, maka semakin liar perilaku manusia. Mengapa? Pertanda bahwa hukuman tidak efektif untuk membuat rakyat patut pada aturan. Bahkan dapat disimpulkan, bahwa sebagai pertanda betapa pemimpin sudah tidak dihargai lagi oleh rakyatnya. Mengapa tidak patuh dan tidak menghargai pemimpin? Ya karena orang bodoh sudah kodratnya tidak akan mematuhi aturan, juga tidak akan tunduk kepada pemimpin, apalagi tingkah pemimpin yang memang sungguh ulok-ulok.

Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menciptakan Aceh menjadi daerah Islami yang benar-benar kaffah? Nah, penulis punya ide. Penguatan pendidikan umat. Baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia.

Tanpa pendidikan, jangan harap Aceh ini akan baik. ini negeri sisa perang dan bekas bencana Tsunami. Banyak masalah yang berkaitan dengan moral di negeri ini.

Di negeri bekas perang seperti Aceh, bicara moral adalah hal langka. Jujur semakin tipis. Yang luar biasa mudah ditemui hanyalah orang yang fanatik buta dan siap melakukan kekerasan kapanpun diperlukan.

Hal-hal semacam itu hanya bisa direduksi dengan pendidikan. Tanpa pendidikan, jangan harap Aceh akan baik.

Tugas kita kemudian, adalah mendorong pemerintah untuk menata kembali pendidikan yang sudah hancur lebur. Kita semua juga harus bersama berpartisipasi untuk mendorong keluarga kita untuk terus menuntut ilmu, baik dunia maupun akhirat.

Hentikan saling hujat, hentikan saling maki. Jangan lagi mendahului pengadilan dalam memberikan hukuman, karena semua itu tidak akan menjawab persoalan.

Perangilah kebodohan. Perangilah orang bodoh dengan cara paksa mereka untuk menuntut ilmu. Jangan biarkan generasi muda, orang tua dan anak-anak untuk tidak mengenyam pendidikan. Sebab kebodohan bila dipelihara akan berbahaya bagi peradaban manusia.

Orang bodoh cenderung melihat dirinya pintar dan paling bersih. Ini sebuah ancaman bagi peradaban umat. Tidak ada tamaddun di dunia ini yang berjaya, dikarenakan banyaknya orang bodoh dan culas. Sejarah sudah membuktikan itu.

Untuk menggambarkan ini, silahkan kita semua kembali membuka shirah nabawiyah yang menceritakan perjalanan Muhammad dimasa jahiliyah dulu.

Diakhir tulisan, penulis hanya ingin mengatakan, siapapun kita, yang harus kita pahami bahwa, kita belumlah paripurna dalam hal pengetahuan. Semua masih terus mencari jati diri. Untuk itu kebenaran tidak ada pada satu kelompok. Maka teruslah belajar. ibarat kata pepatah, tong kosong akan nyaring berbunyi. Air beriak tanda tak dalam.

Akhirnya, Semua orang masih punya cinta yang sama terhadap agama. Tidak ada muslim yang menginginkan agamanya hancur. Hanya saja cara pandang dan cara kerja yang berbedalah dalam hal mewujudkan kejayaan agama itu sendiri.

Namun yakinlah, tidak ada dakwah yang akan didengar, bila yang mendakwakwah itu adalah tukang tebar makian dan menganggap diri paling suci. Mari kembali bercermin.

1 comment for "Kita Belum Paripurna ( Mari Bercermin)"

  1. jika memang itu benar-benar tulisan bang muhajir, ajak orangnya (sumber dalam tulisan ini), untuk kita ajak ngaji dia bagaimana aktivis itu, apa HAM tersebut serta sosial dan juga termasuk yang lainnya sama dia.

    ReplyDelete

Post a Comment