Cerpen: Bintang

Bintangku, hari ini adalah hari-hari seperti lampau ketika aku dengan penuh cinta menunggumu di muara samudera ini. Di setiap deburan ombak yang berantuk dengan batu-batu pantai curam, aku selalu menitip pesan, agar kau, sang pangeranku, segera kembali menemuiku  disini. Dengan kecupan dan pelukan yang hangat.

Aku rindu bau keringatmu yang asam hangus khas lelaki pantai. Aku kangen pelukan oleh tanganmu yang kekar dan berwarna legam. Aku ingin menyandarkan kepalaku didadamu yang bidang dan penuh titik hangat keringat lelaki yang bertempur dengan ganasnya gelombang Hindia.

Bintang, namun setelah pamit yang lama itu, kau tak pernah lagi muncul dibalik ombak teluk Alue Naga. Engkau seolah raib dengan mahaduka cinta lara dihatiku yang perih bagai teriris dan diberikan cuka.
Telah kering air mata, telah kelu lidahku. Tidak ada lagi doa yang kupanjat. Sebab hati tak lagi mampu mengarang kalimat. Mungkin inilah bosan pada manusia. Suasana dimana hati menjadi buta. Kepala menjadi hampa.

Bintang, aku, perempuanmu ini, rindu padamu. Rindu pada bidukmu. Pada perahumu yang dindingnya kian keropos itu. Aku selalu berharap agar kau kembali, dan seperti biasa sebelum pulang, kau mengajakkmu untuk mengarungi gelombang pinggiran yang dangkal.

Aku selalu menjerit bila perahumu itu bergoyang dilamun ombak. Dan seperti biasa pula kau akan cekikikan sambil mengatakan bahwa aku perempuan lemah, cengeng namun cantik bagai bidadari.

Kau akan selalu memberikanku hadiah bila kita kembali mendarat ke bibir pantai. Seikat ikan karang yang bernama Kakap. Kamu selalu berkata “Manisku, seikat ikan ini kanda persembahkan untuk ayahanda dinda yang ada di rumah. Semoga beliau berkenan dengan ikan-ikan malang ini,”

Aku selalu pura-pura menolak hadiah istimewa itu. “Kanda ini terlalu berlebihan. Bukankah ikan-ikan karang ini sangat berharga mahal bila dijual ke pasar?,” timpalku.

“Dinda, cinta bukanlah sebuah benda yang bisa dinilai dengan angka. Apalah artinya lembaran Rupiah, bila bahagia mampu kujemput dengan segala rasa,”

Bintang, sebenarnya penolakanku itu hanyalah basa-basi semata. Itu kulakukan agar kau terus merayuku dengan kalimat-kalimat dahsyatmu itu. Sebab hanya dengan bujuk rayumu yang gombal itu aku mampu terus bertahan untuk tetap berada di dekatmu.

Bintang, bagi aku dan ayahanda kau adalah pahlawan. Kau hebat dimatanya. Dia kagumimu bukan karena Kakap. Ikan-ikan itu hanya lambang. Kau spesial dimatanya yang mulai menua itu. Dia bangga padamu. Kau pemuda cerdas. Yang tidak pernah berputus asa dengan kondisi. Kau petarung sejati. Yang tidak pernah mau kalah dengan zaman. Walau aku tahu kau juga tidak pernah menang melawan pertarungan nasib.

Bintang. Sore ini ada rindu yang tidak bisa kubendung lagi. Kau telah lenyap bertahun-tahun lamanya. Kau tidak lagi nyata. Hanya kenanganmu saja yang telah membuatku kuat untuk bertahan.

Namun, sampai malam kembali menyapa, kau tak jua muncul dari balik ombak. Pulau Sabang telah menghitam. Aku kembali harus menangis. Kau tidak juga datang.
***
Kepada angin laut aku berbisik. “Sampaikan pada Bintang, bila aku telah kalah. Aku gagal bertahan. Sampaikan padanya bila aku adalah pengkhianat. Aku tidak mampu terus bertahan. Aku rapuh,” ucapku lirih. Kugenggam pasir pantai yang kering. Kulerai dalam angin yang berhembus.

“Sudahlah adinda, mari kita pulang,” ajak Bumi merayuku.

“Tunggu sejenak wahai lelakiku. Aku ingin memohon maaf pada Bintang yang telah membawa seluruh cintanya dalam amuk ombak samudera. Aku berjanji setelah ini, aku akan melupakan dirinya. Untuk selamanya,” rengekku sambil berurai air mata.

Bumi mengalah. Dia membiarkanku untuk terus berbicara dengan ombak laut yang sedang berlomba menjemput pantai.

Aku kembali berasyik masyuk dengan masa lalu. Dengan segala kenangan. Ini adalah kali terakhir aku ingin bermain dengan semua masa silam bersama Bintang.

Sebab esok aku telah menjadi miliknya Bumi. Miliknya dunia akhirat. Dia akan menjadi imamku.

“Wahai pasir pantai. Bila kelak lelakiku itu pulang. Sampaikan padanya, bahwa aku telah menemukan imam untuk hidupku. Terlalu lama aku menunggu. Aku sudah lelah. Aku harus realistis,”

Sampaikan pula padanya, bila imam yang kupilih adalah Bumi. Adik lelakinya. Jagoan kebangaaannya. Anak kecil yang selalu dia lindungi dulu itu, kini telah berubah menjadi manusia tampan dan penuh tanggung jawab.

Wahai pasir, sampaikan pada Bintang, aku mencintai Bumi bukanlah pelarian dari cinta yang sakit ini. Sebab Bintang dan Bumi adalah dua lelaki sedarah yang berbeda. Jadi aku tidak mencintai bayangan Bintang. Aku mencintai Bumi sebagai lelakiku yang seutuhnya.

Wahai karang-karang laut, sampaikan pada Bintang, bila aku bangga padanya. Dialah lelaki Alue Naga yang telah mengajarkan cinta yang tulus padaku. Dia pula yang telah mendidik lelakiku yang baru, Bumi, sehingga menjadi lelaki Alue Naga yang juga sangat kukagumi.
***
Kutinggalkan semua kenangan. Ku kubur semua impian. Tentang inginku mengandung anaknya Bintang. Tentang khayalku memeluk lelaki hitam legam itu dikala malam yang dingin. Merasakan belaiannya dalam balutan keringat yang mengucur. Merasakan kecupannya ditengah nafas yang terus memburu.

Bumi, ya aku harus mengkhadam lelakiku yang baru. Kini cinta ini semua kulabuhkan untuknya. Tak ada lagi yang lebih kuhargai dan kucintai. Hanya Bumi, lelakiku, imamku, yang telah mencabut secara halus semua kenangan bersama Bintang.

“Semoga kau senang di alam keabadian. Maaf aku harus melupakanmu. Aku berjanji kau hanya akan kusebut sebagai seorang kawan. Akan kuceritakan kisahmu kepada anak-anakku, bahwa kau seorang Pak Wa yang baik,” ucapku pelan. Kutabur bunga diatas riak gelombang pantai Alue Naga.

Selamat jalan.
***

Tahun kelima, rembulan sedang berada di puncak purnama. Seorang lelaki, dalam samar-samar malam berlabuh di pantai Alue Naga dengan perahu tua. Dia nampak kurus. Namun sisa-sisa perkasa masih nampak jelas ditubuhnya yang kurus.

“Dinda…. Kanda kembali pulang,” bisik lelaki itu. Dia menyusuri pantai dengan langkah penuh harapan.

Alue Naga, Banda Aceh, 1 Juni 2013.

2 comments for "Cerpen: Bintang"

  1. Balasandaari Dinda :

    Tersendak hatiku bila mana ku dengar kata-kata bintang yang menuntunku menggapai suatu harapan untuk bisa selalu bersamamu kanda
    rumusan impian yang sedang ku jalani saat ini memiliki titik sudut
    khas seperti bintang yang menjulang tinggi seperti yang kau harapkan.
    tapi naluri hatiku tidak akan pernah bisa menyatu untukmu membangun sebuah gunung cinta di tengah samudra ini
    Pantai Alue Naga adalah harapanku bersamamu, tapi aku ingin bebas dari belunggu hatimu yang setiap saat memberikan harapan palsu untuk diriku. bukannya aku tak setia menjumpaimu tapi jiwaku manahan untukmu agar kau membenciiku selamanya.

    kisah cinta kita tak sepatutnya engkau ceritakan pada anakmu, biarkan kisah ini melampau di udara terbuai angin dan di sambar petir raksasa, biarkan itu terjadi agar dirimu benar-benar melupakanku untuk selamanya.

    jangan lagi engkau menaburi bunga di dermaga pantai Alue Naga, diriku tak sanggup lagi menerima kirimanmu dari sana meskipun sekuntum bunga dan tetesan air mata di kertas putih yang kau hanyutkan dalam botol, tak akan menggugah hati dan prinsipku ini,.
    karena aku ingin engkau melupakaku untuk selamanya

    ketika rembulan sedang berada di puncak purnama Aku tak pernah ada untukmu disana, mungkin bayanganku yang selalu menghantuimu, maafkan aku bila aku salah membuat kanda begitu..
    dan kini baru aku sadari, bahwa segumpal benih cinta bisa menciptakan hasrat cinta setinggi gunung fujiama,, bilamana setinggi gunung benih cinta setinggi apa ya hasrat cinta..

    gxgxgxgx

    ReplyDelete
  2. salam muhajir
    mantap sekali cerpennya, menginspirasi saya tentang arti kehidupan di kala rindu menerpa. kita harus tetap sabar dan ikhlas menerimanya.
    kerinduan kepada seseorang kadang kala membuat kita tak bisa menahannya, tetapi menjadi suci sebuah cinta karenanya.
    saya sangat suka sekali kalimat di bawah ini, benar-benar mengenak sekali :

    Aku selalu pura-pura menolak hadiah istimewa itu. “Kanda ini terlalu berlebihan. Bukankah ikan-ikan karang ini sangat berharga mahal bila dijual ke pasar?,” timpalku.

    “Dinda, cinta bukanlah sebuah benda yang bisa dinilai dengan angka. Apalah artinya lembaran Rupiah, bila bahagia mampu kujemput dengan segala rasa,”

    betapa bermaknanya sebuah cinta baginya, tak ternilai oleh apapun di dunia ini.

    terus berkarya dengan tulisan-tulisanmu yang hebat. sukses selalu

    ditunggu cerpen-cerpen selanjutnya

    kapan novelnya berada di tangan saya?

    ReplyDelete

Post a Comment