Aceh Darurat “Perang Saudara”



Oleh Muhajir Juli

 “kedepan Aceh tidak lagi berperang melawan Jawa. Tapi sesama anak Aceh akan saling berperang dengan dalih membela bangsa. Padahal semua mereka itu membela perut dan kepentingan kelompoknya saja,”




Handphone saya berdering tengah malam, Senin (5/8/2013) sekira pukul 02.00 dinihari. Dengan agak malas saya buka. Sebuah pesan masuk dari nomor yang saya kenali pemiliknya. Pemilik nomor ini adalah salah seorang teman saya yang menjadi pengurus sebuah partai lokal.

//Kawan, sudah 3 bulan ini aku gak bisa pulang. Orang-orang itu selalu mendatangi rumahku. Kios tempatku berjualan juga sudah kututup. Sebab tidak sempat lagi kukelola. Mereka mengancam akan memberikanku pelajaran bila tidak keluar dari partai//

Kemudian saya membalas // Lalu apa kamu tidak melaporkan itu ke polisi? Atau setidaknya mengadukan ke pimpinan partai?//

//ke polisi belum. Ke pimpinan sudah. Namun belum ada reaksi//. Kemudian tidak ada pesan lanjutan. 

Mungkin sang teman hanya mau memberi signal bahwa jikalau ada apa-apa saya sudah tahu ihwal perkara.
Pesan singkat yang dikirim di malam buta itu merupakan pesan yang kesekian dari orang yang kesekian yang masuk ke nomor hp saya. Isinya nyaris sama, hanya bahasa saja yang berbeda.

Semua pangkal ini adalah kisruh politik di Aceh pasca damai yang semakin berlarut-larut. Praktik demokrasi telah di kooptasi oleh orang-orang yang berperangai buruk dan kemudian menjadikannya sebagai lahan untuk mengeruk keuntungan, dengan cara menebar permusuhan atas nama ideologi.

Dalam kondisi politik Aceh kekinian, ada semacam upaya pemaksaan seperti di zaman Orde Baru yaitu penyeragaman warna politik dengan nilai-nilai yang tidak sehat.

Walau dalam konteks Aceh peran militer dan kepolisian tidak nampak ikut “nimbrung’dalam upaya menekan warna politik minoritas, namun lamban dan tidak produktifnya aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan politik di Aceh, membuktikan bila ada signal pengabaian yang cukup serius.

Kita sudah cukup melek dengan kejadian penembakan pekerja penggali kabel optik di Bireuen, penembakan pekerja bangunan si Aneuk Galong dan penembakan penjual boneka di Ule Kareng Banda Aceh. Walau pelakunya berhasil ditangkap, namun aktor intelektualnya sampai sekarang tidak dijamah.Padahal siapapun tahu, aksi-aksi kekerasan yang dilakukan selama ini di Aceh tidaklah berdiri sendiri dengan motif kriminal murni. Semuanya berhubungan dengan politik dan kekuasaan.

Kemudian baru-baru ini ada pembakaran mobil caleg PNA di Aceh Utara dan ancaman bunuh terhadap caleg PNA di Aceh Besar. Juga penembakan Cek Gu, anggota Tameng Nasional Aceh (TNA) di Pidie. Semua kasus ini buyar dengan sendirinya. Polisi hanya berhasil meringkus eksekutor lapangan, tanpa “mampu”menjamah majikan pelaku.

Menjelang 2014 yang merupakan tahun penentuan penguasaan parlemen, kekerasan baik fisik maupun mental semakin meningkat saja. Kebebasan berpolitik sudah terncam serius. Bahkan tidak ada ruangaman di Aceh, bagi mereka yang berpandangan politik yang berbeda dengan arus utama.

Ulasan diawal tulisan saya tadi merupakan salah satu contoh bahwa kekerasan dan teror itu tidak pernah reda di Aceh. Sikut-menyikut, bunuh-membunuh, ancam-mengancam telah menjadi makanan sehari-hari demokrasi Aceh.

Kita sebenarnya semua sadar, bahwa bentuk teror ini pada suatu saat akan menemukan jalannya yaitu chaos. Adu fisik antara yang ditekan dengan penekan akan terjadi. Saling tikam dan bunuh akan menjadi ancaman besar bagi Aceh.

Lalu siapakah yang bisa meredam ini? Jawaban yang pasti adalah pemimpin. Para pemimpin kabilah harus menjadi refrigerator. Jangan menjadi provokator.

Namun, pemimpin yang menjadi refrigerator sedang sangat langka di Aceh. Yang paling banyak adalah provokator yang memainkan komunikasi munafik.

Ditengah kelangkaan pemimpin yang baik, tentu saja rakyat Aceh yang masih sehat jangan berdiam diri. Kita harus mampu menjadi kipas angin bagi mereka yang bertikai. Kita harus menjadi telaga bagi saudra kita yang telah mabuk ideologi dan fanatik buta pada pilihan politik.

Mengapa ini perlu kita lakukan? Sebab ancaman perang saudara sudah semakin nyat asaja di depan mata. Saya pribadi tidak tahu kapan itu akan terjadi, namun yakinlah, bila kezaliman akan semakin kentara, maka revolusi akan berbicara. Peristiwa berdarah seperti peristiwa Cumbok akan terulang.

Sebagai gambaran bagi kita semua, saya pernah beberapa kali menanyakan pendapat mereka yang suka menekan orang lain, tentang mengapa mereka melakukan itu? Jawabannya secara umum adalah:

“Saya melakukan ini demi menjaga Aceh agar tidak dikuasai oleh pengkhianat. Pengkhianat tidak boleh hidup di Aceh?,”

Lalu saya bertanya:” Apa yang mereka khianati, dan bentuknya bagaimana?,”

Jawabannya: “mereka membentuk kelompok politik lain. Mereka tidak mau bersama-sama dengan kami. Mereka itu pengkhianat, karena sudah berani berbeda dengan kami yang masih lurus dalam garis perjuangan,”

Saya kemudian bertanya lagi: “Lalu bentuk hukuman bagi mereka apa?,”

Jawabannya: “Anda tentu tahu apa hukuman yang diberikan oleh agama kepada yang berkhianat,”

Di sisi yang lain, saya juga pernah berdiskusi dengan yang selama ini selalu mendapatkan ancaman. Saya menanyakan apa reaksi mereka bila terus-terusan diancam? Apakah akan mundur.

Jawabannya sangat mengejutkan saya, mereka mengakatan bahwa akan menunggu perintah dari pimpinan. Mereka siap untuk melawan maupun bertahan. Namun yang pasti bertahan secara terus menerus merupakan selemah-lemahnya iman, dan itu tidak ideal.

Mendengar jawaban itu, saya teringat pernyataan seorang eks kombatan yang sekarang telah dicap sebagai pengkhianat. Begini ucapannya: “kedepan Aceh tidak lagi berperang melawan Jawa. Tapi sesama anak Aceh akan saling berperang dengan dalih membela bangsa. Padahal semua mereka itu membela perut dan kepentingan kelompoknya saja,”

Nah, kalau sudah begini apa yang akan kita lakukan? Apakah kehancuran Aceh merupakan cita-cita dan arah perjuangan juga? Lalu untuk apa perang berpuluh tahun, bila kemudian kita saling tikam hanya karena berebut menjadi pengatur uang. Untuk apa perang memakan ribuan nyawa, bila perdamaian hanya menjadi topeng dan pencuri yang bertopeng pejuang meraja lela mengadu domba? Maka berpikirlah.[]

1 comment for "Aceh Darurat “Perang Saudara”"

Post a Comment