Melawan Lupa, Menolak Mantan Jenderal Pembantai Rakyat Aceh

TNI menembak rakyat Aceh, saat peristiwa Simpang KKA, Aceh Utara



Ada rasa sakit yang masih terasa dihati ST, (40). Janda beranak dua ini masih mengingat ketika jenazah suaminya dibawa pulang kerumah dalam keadaan tidak utuh lagi. Bahkan, daging yang membungkus tulang sang suami tercinta telah membusuk. Saat itu dia sedang mengandung anak kedua.

“Hancur. Itulah yang saya rasakan saat itu. Anak pertama saya yang laki-laki masih berumur sekitar dua tahun. Bayangkan, bocah sekecil itu, harus kehilangan pelindungnya diusia yang sangat muda. Saat itu, seolah sudah kiamat,” ujar ST.

Itulah fase awal penderitaan ganda yang dihadapi oleh ST, istri salah seorang kombatan GAM yang harus kehilangan suami di tahun ketiga perkawinan mereka. “Tubuh suami saya dicincang oleh serdadu. Sakit hati saya bila mengingat itu. Saya masih dendam,” tambahnya pelan sambil menyapu air mata duka.

Anak lelakinya itu, kini sudah menjadi pemuda tanggung. Putus sekolah serta tidak punya pekerjaan. Dia hanya mondar-mandir antara kebun dan rumah peninggalan kakeknya di salah satu kecamatan di Bireuen.
Lain dengan kisah F. Mantan aneuk udeung GAM, yang dulu sebagai petugas pateng. Lelaki pemantau TNI disepanjang beuneung di salah satu kecamatan di Bireuen, kini hidup dalam bekap kemiskinan. Menjadi buruh upahan dengan bayaran murah. Serta hidup dalam gubuk dengan anak-anak dan istrinya.

“Saya belum pernah menerima bantuan apapun. Saya tidak tahu, apakah nama saya masuk dalam list eks GAM yang diberdayakan oleh BRA?,” ujar F dengan gaya pasrah.

“Bapak saya ditembak di depan rumah oleh TNI. Hampir tiga jam jenazahnya dibiarkan tergeletak didepan rumah. Kami tidak boleh mengurus mayatnya. Mereka membuat bapak kami seperti anjing. Saya tidak tahu apakah mereka beriman atau tidak? Namun perilaku mereka saat itu, membuat saya benar-benar dendam,” kata N, ibu lima anak yang berusia kira-kira 45 tahun.

“Yang membuat hati saya tambah sedih dan marah. Bantuan atas nama apapun untuk korban, selalu dipotong oleh kolega bapak yang dulunya sama-sama melawan Indonesia,” tambah N.

Itulah tiga cuplikan kisah yang saya rangkum dalam sebuah wawancara pribadi beberapa waktu yang lalu. Marah masih mendominasi dihati para korban dan keluarganya. Dendam tentu saja masih membara.
Rata-rata mereka belum bisa memaafkan perilaku Jakarta melalui serdadunya. “Kami bahkan masih sangat ingat bagaimana bapak dibantai seperti anjing. Satu lawan dua puluh orang,” kata N.

Saat saya singgung tentang Koalisi PA dengan Gerindra untuk meluluskan Caleg Gerindra ke DPR RI, mereka rata-rata marah dan mengaku sakit hati. “Atas alasan apapun, kami merasa dikhianati,” ujar K. Mantan GAM yang kini hidup miskin.

Karena Hukum Belum Ditegakkan.

Sebagai pribadi yang masih mencintai Aceh dengan hati. Saya menilai apa yang dirasakan oleh beberapa korban pelanggaran HAM di Aceh adalah wajar. Bagi yang masih belum bisa marah juga wajar. Mungkin mereka belum paham bahwa, semua kejahatan konflik dimasa lalu harus dan wajib dimeja hijaukan oleh negara.

Orang-orang yang sadar dan telah tercerahkan, serta bebas dari kepentingan politik, cenderung menolak setiap koalisi yang dibuat oleh Partai Lokal dengan mantan Jenderal Indonesia yang tangannya pernah berdarah di Aceh.

Siapapun itu. Bukan hanya Prabowo. Wiranto, dan jenderal lainnya juga wajib ditolak. ini sebagai bentuk solidaritas terhadap korban pelanggaran HAM Aceh. Jadi sangat picik sekali, bila ada suara-suara yang mengatakan, tujuan jangka panjang harus didahulukan, demi tercapainya pembangunan.

Bahkan ada yang sampai menggunakan ayat-ayat Tuhan untuk membenarkan bahwa pemaafan harus segera diberikan oleh rakyat Aceh, atas landasan ukhuwah Islamiyah. Dalam kaca mata saya, inilah argumen paling picik. Menggunakan agama untuk membenarkan sebuah kejahatan dimasa lalu.

Jangan terlalu cepat melupakan tragedi Arakundo, Simpang KKA, Rumoh Geudong, Gedung KNPI, dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. Terlalu banyak darah dan nyawa yang hilang, dan itu belum diakui oleh Indonesia.

Mengingat semua itu, kemudian memaki siapapun yang bersetubuh dengan penjahat, adalah sebuah upaya suci, untuk menyadarkan penguasa, bahwa hukum belum ditegakkan di Aceh. Belum ada satupun penjahat HAM yang di meja hijaukan. Bahkan pengadilan koneksitas atas peristiwa Bantaqiyah, hanyalah sebuah penipuan keadilan, demi menghindari pengadilan internasional. Bahkan aktor utamanya sampai sekarang dinyatakan hilang.

Saya pribadi masih begitu ingat pernyataan seorang mantan GAM “Mereka yang bisa memaafkan musuh, padahal keadilan belum berwujud, adalah sebuah pengkianatan terhadap Bangsa Aceh. Saya menduga, yang selama ini mengatakan bahwa mari lupakan masa lalu, adalah mereka yang tidak diperkosa mamaknya oleh serdadu. Tidak dicincang bapaknya oleh jagal bersenjata. Atau bahkan, yang memaki siapapun yang mengkiritik kesalahan apa Aceh sekarang, adalah mereka yang mendapat untung dari koalisi ini. Kalau dia GAM, saya pastikan dia GAM pura-pura atau bahkan GAM yang bergabung setelah 2006 alias GAM P**o,”

Menunggu Kejujuran Penguasa

Berapa tahun sudah Aceh dipegang oleh awak nanggroe?. Kalau kita hitung dari tahun 2006, sudah sembilan tahun rentang waktu berjalan. Bahkan, kini mayoritas kekuasaan dipegang oleh “awak Aceh”. Baik itu dijajaran eksekutif maupun legislatif. Namun apa yang berhasil? Tidak ada kan. Bahkan, kalau boleh jujur, korban pelanggaran HAM Aceh, dikhianati oleh bangsanya sendiri.

Lalu apa lagi yang hendak kita tunggu? Apa harus tunggu setelah naik haji dengan kapal pesiar bagi orang Aceh yang sudah baligh? Ataukah kita harus menunggu ketika Aceh kembali bergolak, dan para penguasa sekarang ditembak satu persatu oleh anak-anak korban konflik?.

Kita semua harus sadar, selama keadilan masih belum maujud dalam arti yang sesungguhnya, maka selama itu kita harus menolak koalisi partai lokal dengan partai para eks militer yang pernah terlibat dalam pembantaian rakyat Aceh.

Kita harus terus mendesak agar penguasa di lokal Aceh untuk bertindak jujur. Jangan biarkan mereka terus membodohi kita dengan janji naik kelangit, padahal untuk manjat kelapa saja kita tidak punya kemampuan.
Lalu, apa jalan keluar dari masalah ini? Jawabannya adalah KKR Aceh. Bila KKR sudah diterapkan, penjahatnya sudah dihukum hak korban sudah dipulihkan, maka saya kira, saat itulah maaf itu sudah pantas diterima. Dan silahkan berkoalisi dengan siapapun.[]




No comments for "Melawan Lupa, Menolak Mantan Jenderal Pembantai Rakyat Aceh"