Sepatu, Celana Kain dan Baju Kemeja

Oleh Muhajir Juli

"Hei you....., get out, get out..!!,". Teriak seorang dosen kepada saya saat kaki saya hendak melangkah masuk ke dalam ruang kuliah. Saya terkejut. Saya coba perhatikan apa yang salah dengan apa yang saya kenakan. Eh, rupanya saya tidak memakai baju kemeja saat masuk ruang kuliah.

Saya keluar. Namun segera kembali setelah menemukan baju kemeja pinjaman dari seorang teman yang kebetulan sedang tidak kuliah. Saya kemudian bebas mengikuti kuliah sampai selesai. (kisah masa kuliah)

Baju kemeja, sepatu dan celana kain. Adalah tiga hal yang sangat haram bila tidak dikenakan oleh mahasiswa FKIP. Juga tiga hal yang haram bila tidak dipakai saat bertemu orang-orang "penting". Tiga aksesoris itu telah didaulat oleh tukang daulat, sebagai pakaian orang-orang "intelek". Pakaian tersebut telah disajikan sebagai gaya bagi kelas "berpendidikan" tinggi.

Berhalanisasi ketiga pakaian itu telah begitu mendarah daging bagi mereka yang pernah mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, Khususnya fakultas keguruan. Sebab celana kain, sepatu dan baju kemeja telah dipaksakan masuk dalam ranah "sopan" yang menurut saya tidak mendasar. Mereka tidak perduli terhadap substansi. Yang penting tiga pakaian itu dikenakan oleh mereka yang "berpendidikan", maka soalan watak liar lainnya sudah kurang mendapat sorotan. Sebab etika diukur dari bentuk pakaian tadi.

Memutuskan untuk tidak berpakaian seperti itu di lingkungan "elit" itu, maka itu sebuah tindakan bunuh diri. Sebab, orang-orang besar itu tidak akan melayani mereka yang tidak berkelas-- yang memakai sandal, celana jeans dan baju kaos--. Kolonialisasi diciptakan, sehingga seolah-olah itu budaya, bahkan bila perlu bisa dianggap itu agama.

Inilah akibat, ketika kata SOPAN telah dipenjara oleh mereka dengan konsep terbatas, sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Ajaran untuk menghormati perbedaan pilihan diabaikan, hanya karena nilai dan keyakinan --apa yang mereka pahami adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa digugat--. []