Katalina Naufrágio

ilustrasi


















500 tahun yang lampau. Sebuah kapal dagang Portugis terombang-ambing ditengah selat Malaka. Mesin kapal yang membawa rombongan pengusaha asal Eropa itu mati. Padahal pelayaran hanya beberapa mil lagi.


Rasa takut memenuhi seisi kapal. Nahkoda kapal, Helder, lelaki berusia 35 tahun nampak tertegun menatap ombak lautan yang mengamuk. Hujan badai serta petir menambah suasana semakin tidak menentu. Gelap menyelimuti.

Katalina, gadis cantik berambut pirang, yang berusia 22 tahun , duduk di bangku. Injil lusuh yang dia pegang terus saja dibekap di dada.

“Yesus, lindungi aku. Hanya tanganmu yang mampu membawa kami pada cahaya,” bisik Katalina.

“Tak ada guna berdoa. Tuhan takkan pernah hadir ditengah huru-hara seperti ini,” kata Helder.

Katalina terkejut. Dia menatap lelaki bertubuh atletis dan berpenampilan klimis itu.

“Kau, kapaten kapal ini kan?,” tanya Katalina dengan wajah kurang senang.

“Benar,” jawab Helder sambil tersenyum.

“Kau adalah kapten yang tak punya hati. Bukannya menenangkan penumpang, malah kau mengejek

Yesus,” ucap Katalina sambil bangkit berjalan meninggalkan Helder.

“Tuhan Yesus takkan pernah ada disini. Sadarlah Nona.....!!!,” teriak Helder kepada Katalina yang telah pergi menjauh.

***

Gelombang raya telah beberapa kali menabrak dinding kapal. Lautan seperti mengamuk malam itu. Tuan Josep Estrada, ayahnya Katalina, terus menerus menenangkan istrinya yang ketakutan. Panik semakin menjadi-jadi. Ketakutan semakin merajah, ketika dua anak buah kapal, Marcelo dan Manirez, jatuh kelaut saat hendak membetulkan bagian kapal yang rusak.

Helder, sang pelaut yang berpengalaman itu, sudah kehilangan akal. Alam tak mungkin dilawan. Tak ada kuasa manusia sedikitpun untuk mampu mengimbangi ala yang marah.

“Kapten, bagaimana ini?,” tanya Josep kepada Helder.

Helder menatap Josep yang panik. Lelaki 60 tahun itu menatap penuh cemas kepada pelaut muda itu.

“Tenanglah Josep, keadaan akan membaik. Kita tunggu saja alam menjadi ramah,” ujar Helder.

Josep mengangguk. Kemudian dia memilih duduk di dekat Helder yang sudah basah kuyup.

“Ini adalah perjalanan pertamaku ke negeri Djeumpa. Aku masih asing dengan negeri itu. Maafkan bila aku nampak panik,” ujar Josep.

“Tak masalah Josep. Seharusnya aku yang meminta maaf. Namun apa kuasaku melawan alam. Ngomong-ngomong buat apa anda ke Djeumpa?,”

“Dagang. Sekaligus pelesiran. Makanya kubawa Katalina dan ibunya. Mereka penasaran dengan negeri timur yang konon katanya masih kolot itu,” jelas Josep.

Helder manggut-manggut. Dia kemudian berbicara banyak hal terkait pengalamnnya selama menahkodai berbagai kapal dagang. Dia sendiri baru kali ini berlayar ke negeri timur yang disebut Djeumpa itu.

“Aku ini nahkoda yang tidak menetap. Aku berlayar dengan kapal apa saja. Niatku bukan murni mencari uang. Akan tetapi ingin berkeliling dunia,” ujar Helder.

“berapa jauh lagi kita dengan daratan?,” tanya Josep.

“Sebenarnya tidak begitu jauh. Kira-kira 12 mil lagi. Kalau cuaca bagus, kita seharusnya akan tiba setengah jam lagi. Kita akan lempar jangkar di Cout Ghapoo* ,” terang Helder.

"Chout Ghapoo?, dari mana kau mendengar nama pantai itu anak muda?," Tanya Josep.

"Aku membacanya di peta ini," jawab Helder sambil memperlihatkan peta dari kulit rusa. Kemudian mereka saling senyum.

Ilustrasi

***
Katalina semakin tidak menentu pikirannya. Ditengah kekalutan, dia menerawang ke Portugis. Disana, Andre, kekasihnya, pasti sedang kesepian. Lelaki yang baik itu tentu akan sangat merindui dirinya.

Ketakutan untuk tidak lagi bisa berjumpa datang. Saat-saat seperti itu, gadis berlesung pipi itu hanya bisa menangis.

“Andrea, semoga Yesus melindungimu. Seandainya kau tahu, saat seperti ini yang paling kurindui adalah dirimu,”

Katalina membuka gantungan liontin. Dia menatap foto Andre yang hitam putih.

“Pasti dia lelaki yang tampan dan baik hati,” terdengar sebuah suara memecah kekalutan.

Katalina terkesiap. Dilihatnya ke belakang. Helder berdiri sambil tersenyum.

“Rupanya kau. Kapten sombong yang tidak percaya Tuhan,” kata Katalina penuh kesal.

“Hehehe, bisa jadi demikian. Aku kagum padamu. Sungguh beruntung lelaki yang berhasil merebut hatimu itu,”

“Apa pedulimu?,”

“Sebagai lelaki, aku pantas cemburu. Padahal dengan tampang yang lumayan, aku mampu memacar perempuan manapun. Namun sayang, semua mereka tidak ada yang setia. Makanya aku kagum padamu dan bangga pada pacarmu itu,” ujar Helder tanpa beban.

“Sungguh kau lelaki yang malang sekali. Karirmu tidak sebanding dengan kisah cintamu,” ejek katalina.

"Hehehe. Apa tidak mungkin kekasihmu selingkuh disana?," kata Helder memancing kemarahan Katalina.

"Dia tidak sepertimu. Dia lelaki yang setia," ujar Katalina.

"Apakah ada jaminan, ketika dia meniduri perempuan lain, dia akan melapor padamu? Heheh," tambah Helder. Dia sengaja memancing kemarahan Katalina.

"Dia tidak sepertimu. Mungkin kau bisa berlaku demikian, karena kau lelaki yang malang dalam bercinta," balas Katalina dengan wajah kian merah.

“Benar sekali. Semoga kalian bisa bertemu di surga,” celetuk Helder sambil berlalu.

Mendengar kalimat itu, Katalina tambah marah. Diambilnya sandal dan dilemparnya ke arah Helder. Nahkoda itu menangkis. Kemudian tertawa. Katalina geram.

***

Dua hari ditengah kepanikan dan kemarahan alam, cukuplah waktu bagi Helder dan Katalina dekat. Walau masih agak jengkel kepada Helder, namun gadis itu mengagumi keteguhan jiwa sang kapten. Dia tidak panik. Padahal suasana begitu kalut.

Bukan hanya sebatas itu. Walau Helder baru dikenalnya, namun dia merasa nyaman dekat dengan lelaki berbadan gagah itu. Dia sangat hangat sekali. Apalagi, Helder nampak dekat dengan Josep, ayahnya Katalina. Itulah mengapa dia bisa begitu cepat dekat dengan lelaki asal Bosque itu.

“Daratan sudah kelihatan. Mungkin selepas badai ini kita bisa segera berlabuh,” ujar Helder kepada Katalina.

Saat meneropong ke daratan, mereka berdua berada di kamar nahkoda. Suasana badai sudah agak reda. Awak kapal sedang membersihkan kapal yang berantakan.

Katalina dan Helder menikmati saat-saat agak tenang itu dengan minum wisky. Awalnya Katalina menolak.

“Minumlah sedikit, agar angin ditubuhmu keluar dan badanmu hangat,” kata Helder.

Kemudian Katalina minum. Mereka terus mengobrol tentang kisah masing-masing. Tentang kehidupan masa lalu. Kisah cinta dan lainnya. Tak jarang mereka tertawa bersama. Bahkan sambil saling tinju ketika ada cerita yang seru.

Hingga pada suatu ketika mata mereka saling bertatapan. Dan energi aneh menyusup. Suasana menjadi hangat. Antara hati yang berdebar dan jantung yang berdetak lebih cepat.

Sebuah ciuman mendarat di pipi Katalina. Dia merusaha menolak. Namun sejenak kemudian mereka sudah saling berpagut.

“Kau sungguh cantik Katalina,” bisik Helder ditelinga gadis itu. Katalina hanya bisa bernafas berat.
Kini, tak ada bayangan Andre dikepalanya. Dia membalas “kau juga sangat tampan Hel,”

Suasana menjadi tambah hangat. Ada baju-baju yang berjatuhan kelantai. Rambut yang acak. Keringat yang keluar dengan derasnya. Lenguhan-lenguhan panjang tanda kenikmatan. Gerakan-gerakan liar diatas dipan yang sederhana. Tubuh-tubuh yang tanpa busana.

Musik lawas diputar. Menambah suasana menjadi romantis. Seperti di film-film Eropa era 80-an.

***
Rupanya alam belum benar-benar bersahabat. Satu jam setelah hubungan privasi antara Katalina dan Helder terjadi, alam kembali mengamuk. Padahal jarak ke Chout Ghapoo tinggal beberapa waktu lagi.

“Apapun yang terjadi, kau harus bersamaku,” kata Helder kepada Katalina.

Gadis itu memeluk Helder. “Aku akan selalu bersamamu Helder,” kemudian dia mengecup pipi Helder.

Mereka berpelukan sejenak. Ombak semakin liar. Dari kejauhan nampak gelombang raya menuju ke arah kapal. Semua penumpang mencari sudut aman.

“Katalina. Kemungkinan kita selamat sangat kecil sekali. Ombak seperti itu tak pernah memberi ampun. Sebelum kita berpisah, aku hanya ingin mengucapkan bahwa aku cinta padamu,” kata Helder setengah berteriak, sebab gemuruh alam membuat semua jadi kabur.

Mendengar itu Katalina menjadi terharu. Kembali dia memeluk lelaki yang baru beberapa saat dekat dengannya itu.

Ketika mereka saling memeluk, gelombang raya itu menghantam kapal. Kapal berbadan besi itu terbalik. Semua penumpang tumpah kelautan. Demikian juga Helder dan Katalina. Mereka dilamun ombak.

***

500 tahun kemudian, masyarakat Bireuen masih mencari-cari tahu kebenaran tentang sebuah kapal laut yang telah ditutupi sebagian badannya oleh pasir laut.

Ada yang mengatakan itu kapal raja Djeumpa, ada pula yang mengatakan itu kapal Portugis. Namun tak ada satupun yang tahu, bahwa di bawah kapal itu, jasad Katalina dan Helder terjepit. Dan kini tulang belulang mereka telah kembali menjadi tanah.

Kapal itu sekarang berada di gampong Kuala Raja, Kecamatan Kuala, Bireuen. []



*Chout Ghapoo adalah Cot Gapu sekarang. Ini murni rekaan semata. Mohon maaf bila ada kesamaan nama tempat.






4 comments for "Katalina Naufrágio"

  1. Replies
    1. Bung yusrizal yusuf: Di bagian paling bawah saya sudah menjelaskan tentang cerpen tersebut. Intinya, ini hanya rekaan semata, dengan mencoba meuatkan pada sejarah yang ada. terima kasih telag berkunjung

      Delete
  2. peu ta peuget film saboh tanyoe?

    ReplyDelete

Post a Comment