Moncong Besi

ilustrasi













Hari ini adalah tanggal yang sama dengan kisah mengharu biru beberapa masa yang silam. Ketika mereka datang bergerombol memecahkan keheningan malam. Angin yang berada diburitan kapal nelayan menggigil ketakutan, air laut bekas pijakan mereka mendekamkan muka kepasir putih yang berkeringat dingin.


"Maut datang.......," bisik pucuk kelapa.

"Lawan Izrail tiba…., bisik pucuk cemara pada rumpun pandan.

Sejurus kemudian semua diam. Semua bisu, seolah Tuhan telah mencabut hak bicara pada seluruh alam. Tak ada angin yang berdesir walau sekali desiran. Semua dibalut dalam ketakutan yang sangat.

Dengan langkah tegap serdadu pencabut nyawa memasuki desa yang beraroma kematian. Tak ada keramahan diwajah para lelaki berseragam hijau itu. Bengis wajahnya, merah matanya bagai biji saga. Itulah gambaran betapa tidak bersahabatnya mereka yang datang dari seberang pulau.

Para serdadu memijak tanah tanpa peduli kerikil-kerikil kecil meringis kesakitan. Jika mampu terdengar, betapa merananya semut-semut yang sarangnya mereka injak. Semut-semut yang harus meratapi telur-telurnya yang belum sempat melihat dunia sudah kembali menjadi debu tak berharga.

Izrail mengintip dari balik awan yang pekat dimalam buta itu. Sebentar lagi Dia harus berjibaku dengan peluru-peluru yang melesat cepat mencari sasaran. Malam masih dalam keheningan yang merana. Izrail masih menanti dengan penuh kesabaran. Dihitungnya satu-persatu calon-calon pengisi kuburan keesokan harinya.

“Oh Tuhan…… hampir tak ada yang tersisa…” gumamnya lirih.

Para serdadu terus merangkak mengelilingi desa dengan format segitiga, tujuannya hanya simple saja yaitu agar mereka tidak saling bunuh. Masih ada sedikit ketakutan akan kematian rupanya.

Oh Lord…, serigala masih kau ciptakan dengan rasa pengecut rupanya.

Rumput-rumput memejamkan mata. Mereka tidak akan sanggup melihat genocida yang sebentar lagi akan berlangsung. Sebuah pembantaian yang tanpa belas kasihan. Genocida tanpa makna sebenarnya.

Duar…..duarrrr…., keheningan tersibak.

Izrail langsung bergulat dengan kecepatan peluru.

Nyawa dicabut tanpa didahului ucapan salam. Satu, dua, tiga…., sepuluh, lima belas…,

nyawa-nyawa tak berdosa melambaikan tangan pada raga yang tersungkur kebumi. Ada nyawa yang keluar melalui sobekan dada, perut, pangkal paha. Itu sesuai dengan salam peluru yang melubangi tubuh tempat mereka tinggal untuk sementara.

Bau amis darah merebak kemana-mana. Angin yang dari tadi ketakutan kini harus ekstra kerja untuk menebarkan bau amis darah sebagai kabar malam kepada seluruh isi alam.

Pak Haji yang merangkap imam menasah mencoba melarikan diri dari gempuran serdadu yang menghamburkan peluru. Tak sampai dihalaman dia sudah dihentikan oleh timah panas seukuran biji melinjo basah. Tak sempat meringis, nyawa sudah melayang dari tempurung kepala yang pecah.

Izrail menghitung. Abdi Tuhan itu adalah angka yang ke empat puluh korban amukan mesin perang.

Belum puas Izrail memandang ritual nyawa yang terbang kelangit, dia sudah harus berjibaku mencabut nyawa ke empat puluh satu. Kali ini perempuan. Sebutir peluru menembusi selangkangan. Tak ada tangisan. Hanya darah yang menunjukkan bahwa ini pembunuhan massal.

Sejenak kembali hening. Tak ada lagi suara letusan senapan.

“Periksa kembali…… pastikan tidak ada yang tersisa…..” sebuah kalimat perintah keluar dari kegelapan.

Para serdadu menuruni lereng-lereng maut. Mereka melangkah dengan angkuh memijaki bumi Tuhan setelah membunuh. Memasuki lorong-lorong, jalan-jalan setapak untuk mencari sisa korban. Jika ada, kembali harus dibasmi.

Mungkin malam itu laknat bagi seorang perawan. Setan telah membisiki para serdadu untuk awas memeriksa setiap kolong rumah. Dalam sorotan cahaya lampu durjana, sesosok wajah memelas tiarap dibawah dipan kayu yang telah lapuk.

“ keluar kau bangkai kehidupan…!” perintah seorang serdadu dengan nada membentak.

Tanpa menunggu waktu berganti detik, tangan serdadu itu menarik perawan malang keluar kolong dipan.

“ jangan sakiti aku.., jangan bunuh aku…” pinta si perawan.

Tanpa peduli bahwa dari jenis itu dia dilahirkan, para serdadu menggarap perawan itu beramai-ramai. Dalam tangisan menyayat, siperawan harus rela mahkota yang begitu dilindungi dimasuki beribu-ribu sperma jadah dari negeri seberang.

Izrail hanya melihat dari balik daun jendela. Dia hanya menunggu kapan wanita itu dibunuh agar dia mempunyai alasan untuk mencabut hak kehidupan.

Bumi menangis, ketika langit hanya bisa melihat kekejaman dari kejauhan.

“Hentikan kekejaman ini…” teriak bumi.

Namun tidak ada yang mampu mendengar. Teriakan bumi kembali tenggelam dalam kekalutan malam yang pekat. Setan menari-nari diatas darah yang pekat bercampur lelehan cairan otak kental yang bertaburan. Setan begitu puas menyaksikan hasutannya berhasil membuat serdadu-serdadu jadi perwakilan Izrail.

Bumi yang kehilangan kata tersekat suaranya dikerongkongan. Air ludahnya mengental membentuk butiran-butiran dahak yang siap dimuntahkan. Bumi geram. Akhirnya butiran-butiran dahak keluar dengan buncahan kata-kata.

“ wahai manusia……….! Hentikan kekejaman ini. Dimana rasa cinta yang selalu kalian dengung-dengungkan…?. Kemana perginya hak azazi yang selalu kalian perjuangkan…? Apakah cinta kasih hanya antara ibu dan anaknya saja…? Apakah rasa saling melindungi hanya ada di jargon-jargon saja……?

Tak ada yang menjawab. Hanya moncong- moncong besi yang berputar kesana-kemari. Dari kegelapan keluar suara.

“Bumi hanguskan semuanya……, agar tidak ada manusia yang menjadi saksi bahwa sebenarnya kita hanya pembunuh yang berbaju keadilan. Bahwa kita sebenarnya hanya perampok-perampok yang dilindungi..!”.

Dipintu neraka, Zabaniyah sang pengazab menyaksikan dengan penuh kegeraman. Berkali-kali dihempaskan cambuk penyiksaan kesana-kemari.

“Mengapa tidak ada seorangpun menikam ulu hati serdadu…? Biar nyawanya cepat diberikan Izrail padaku tanpa hisap. Agar lekas-lekas kukipasi dengan beliung neraka agar mereka sadar bahwa azab Allah sangat pedih…….”

Pucuk kelapa yang ketakutan  mengintip kebawah. Dengan gerakan penuh hati-hati memperhatikan tingkah polah serdadu yang bergaya bak perampok dizaman klasik.

“Duhai Tuhanku, mengapa Kau berikan kesempatan serdadu memenggal kepala, menikam hati, merobek kehormatan rakyat negeri ini…?”

“Seberapa berdosakah mereka…? Sehingga menjemput maut dengan begitu perih…..?”

Rumput yang bersimbah darah mengeluh dengan bau amis kematian. Dipandanginya pucuk kelapa.

“Hai jangan menangis….!. liat itu (sambil menunjukkan kearah serdadu) lihat… mereka melihat kearahmu. Hai pucuk kelapa cengeng……., apakah kamu mau mati dengan moncong hitam bergagang itu…?

“Tidak…, yang kutakutkan memang itu. Kemarin rumpun pisang dihajar sampai berkeping oleh muntahan moncong itu” jawab pucuk kelapa.

“Makanya diam….! Ini bukan cerita Ayat-Ayat Cinta yang diujung kisahnya berakhir bahagia. Ini juga bukan cerita Nagabonar yang penuh banyolan itu. Ini asli perang….”

Kemudian hening, jangkrik yang biasanya mendendangkan nyanyian entah sembunyi dimana?. Satu persatu serdadu keluar dari kegelapan. Mengatur barisan, kemudian meninggalkan ladang pembantaian. Fajar menyingsing dari balik perbukitan. Yang kemudian terlihat hanyalah onggokan mayat disetiap jengkal cahaya mendarat.

************

Minggu pagi, matahari bersinar dengan indahnya, ketika gelombang menghantam daratan. Menggulung kesombongan,mengoyak hijab yang sekian lama menutupi ladang pembantaian ini. Semua terhenyak, semua kehilangan arah tujuan. Yang ada dalam pikiran hanya bagaimana cara menyelamatkan diri.

Moncong-moncong besi yang sekian tahun setia menjaga pantai, digulung ombak maut pencabut nyawa. Serdadu yang baru saja pulang dari kesenangan pesta mencabut kehidupan, terhenyak tanpa bisa berkata apa-apa.

“Inilah serdadu Tuhanmu…..!!, bisakah kau berlari dariku…? “teriak gelombang pada serdadu. “

inilah azab untuk para penghuni yang zalim terhadap sesamanya”.

Semua tenggelam dalam lumpur nan hitam. Tak ada lagi keangkuhan, lenyap sudah kesombongan. Semua kembali telanjang dihadapan pemilik kuasa atas kehidupan. Hanya moncong besi berkarat yang masih timbul tenggelam dalam badai dan bah lumpur pekat pencabut nyawa.

27 Februari 2010. Doel Postroe NAD.

No comments for "Moncong Besi"