Cerpen: Cinta Untuk Raisa





“Sudahlah. Lupakan semua itu. Malam ini aku memberikan pilihan padamu. Kalaulah kau ingin mundur dari hubungan ini, aku siap untuk mengakhiri ini. Namun bila kamu ingin meneruskan langkah kita, maka peluklah aku saat ini juga. Aku telah memaafkan semua salahmu,”


Kupikir keputusan menikahi gadis pilihan orang tua adalah langkah yang tepat. Setidaknya bibit, bebet dan bobot sudah terpenuhi dengan sempurna. Namun siapa sangka, bila kepatuhanku kepada keputusan orang tua telah menjebakku dalam wahana yang tiada berujung. Sejak akad itu kulafaz didepan penghulu, derita hati tak kunjung usai kurasa.

Malam pertama yang selalu kunantikan layaknya pengantin lainnya, hanyalah episode awal betapa sakit hati itu tak terperi rasanya. Istriku, Raisa, tak pernah memberikan senyumannya padaku, walau aku adalah imamnya yang sah.

Kata-katanya masih terus tergiang ditelinga.

“Sebagai perempuan, aku tak berdaya. Kini aku adalah istrimu. Namun sebagai seorang kekasih, aku mampu pastikan, bahwa hatiku takkan pernah bisa menerimamu,”

Nyaris saja aku menampar wajah Raisa. Namun akal sehat masih mampu menasehati hatiku. Aku tak ingin ada kegaduhan dimalam yang sakral ini. Sebagai lelaki yang punya kehormatan, aku mencoba menahan diri agar kalimat yang menyakitkaan itu tidak merusak kebahagiaan keluarga kami yang baru saja menyelesaikan resepsi pernikahan antara aku dan Raisa.

Aku mencoba mengatur ritme nafas. Pelan – dengan rasa sakit yang membara—kucoba mengajaknya bicara.

“Kiranya apa salahku hingga dinda mengucapkan kata yang demikian? Tak tahukah bila kalimatmu itu bisa membuat hatiku sakit?,”

Raisa diam untuk beberapa waktu. Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Dia berpaling.

“Diam takkan menyelesaikan masalah. Lebih baik dinda bicara, agar semuanya jelas,” bujukku sambil memegang dagunya.

“Kau berusak kebahagiaan kami. Kau merusak mimpi-mimpi kami. Bahkan kau merusak cinta yang telah susah payah kami bangun,” ucap Raisa dengan mimik yang tidak bersahabat. Sejenak kemudian dia menangis.

Aku kaget. Benar-benar tak percaya. Ribuan petir dan halilintar menggelegar dalam kepalaku. Hancur sudah. Mimpiku untuk menjadi imam yang baik pudar setelah mendengar itu. Tiba-tiba, aku begitu asing dengan wanita yang berada satu kamar denganku itu.

Aku bangkit dan membuka jendela. Sayup-sayup angin berhembus kedalam. Aku menjadi begitu asing dengan kamar pengantin ini. Ada sepi yang cepat merayap. Senyap membungkam jiwaku yang kini teriris.
Aku melihat Raisa bangkit dari tempat duduknya. Dia bergegas ke kamar mandi. Sejenak kemudian dia kembali.

“Sebagai istri, aku sudah siap memenuhi kewaajibanku terhadapmu,” kata Raisa sambil berdiri didekatku. Namun wajahnya tertunduk. Dia hanya memakai handuk. Rambutnya basah.

Aku kemudian menutup daun jendela. Kemudian aku menjauh darinya. Kuteguk air putih.

“Bila memang hanya karena persoalan tubuhmu yang menjadikanku sebagai suamimu, sungguh aku takkan sudi menyentuhmu. Bagiku, pernikahan bukan sekedar seks dan seks. Sebab ada hal lain yang sangat substansial, yaitu cinta,” ujarku pelan.

“Lalu, bila bukan karena tubuhku, mengapa kau menikahiku,”

“Bila saja aku mengetahui bahwa kamu tidak menginginkan ikatan ini, sungguh aku tidaklah sudi meminangmu. Bagiku cinta bukan sekedar kemolekan tubuh. Sebab keluhuran budi, kerendahan jiwa dan kelemah lembutan adalah hal utama,”

“Munafik”

“Kau bisa katakan apapun terhadapku. Sebagai suami aku akan mencoba memaafkanmu. Namun kamu juga harus tahu Raisa, bahwa keputusanku untuk menikahimu, murni karena ingin berumah tangga. Aku ingin meneruskan generasiku. Dan anak-anakku harus lahir dari seorang istri yang mau menerimaku dengan tulus,” kataku.

“Kalau hanya persoalan kemolekan tubuh wajah yang ayu, yakinlah, kau tidaklah sebanding dengan wanita-wanita Mesir teman kuliahku dulu. Tapi.. ah ya sudahlah. Tak perlu aku menjelaskan panjang lebar padamu. Saat ini kau masih terjebak dalam cinta dengan masa lalumu,” tambahku sambil menyibak gorden jendela. Kuintip keluar. Disana, keluarga Raisa Nampak akrab satu sama lain. Mungkin mereka puas dengan pesta besar tadi siang.

Aku tak bisa memastikan apa yang berkecamuk didalam dadanya saat itu. Setelah aku mengatakan hal demikian, Raisa merebahkan tubuhnya ke kasur. Dia kemudian menangis tersedu-sedu.

***
pasca kejadian itu hubungan antara aku dan Raisa terus mendingin. Aku tak pernah menjamahnya sebagai seorang suami. Aku tak pernah bisa meniduri wanita yang menolak diriku secara batin.

Hanya saja, kepada Raisa kuingatkan, bahwa jangan sekali-kali dia menghubungi lelaki yang dia cintai itu sebab aku tidak ridha. Dan aku berjanji, selama dia belum bisa menerimaku, maka selama itu pula aku tidak akan pernah menjamahnya.

Aku mencoba tetap mempertahankan pernikahan kami. Dalam hatiku, aku berniat untuk menuntun pelan-pelan istriku itu agar paham tentang agama. Aku sadar, istri yang dipilih oleh orang tuaku, bukanlah perempuan yang memahami Islam dengan baik. Dia besar ditengah keluarga yang abangan. Pernikahan kami sejatinya adalah perjanjian dua sahabat yang diikat dalam hubungan bisnis.

Tentu rasa sakit tetap ada. Raisa benar-benar menolakku. Dia tidak pernah memasak untukku. Dia tidak pernah menyapaku. Selama ini tugas kerumahtanggaan dilakukan oleh pembantu yang masih bersaudara jauh dengan Raisa. Bahkan kami sudah pisah kamar  tidur.

Untuk mengusir rasa lelah dan sakit hati, aku tenggelam dalam library kecil di rumah. Terkadang juga jalan-jalan keliling Aceh. Tak jarang semua duka hati kutumpahkan dihadapan Ilahi Rabbi. Dalam setiap tahajudku, aku selalu berdoa, agar hidayah Allah pada suatu ketika akan singgah didada istriku itu.

Tak ada yang tahu kondisi hubungan kami. Bahkan aku tidak pernah menceritakan ini kepada orang tuaku dan kepada orang tuanya. Aku yakin, ini masalahku. Sebagai pemimpin tertinggi dalam rumah tangga – yang serba dingin ini – aku harus mampu menyelesaikan persoalanku sendiri.

Tak terbersit untuk menikah lagi. Walau beberapa kali peluang itu ada. Aku selalu mencoba menolak secara halus setiap ajakan untuk memadukan Raisa. Walau agama memberikan peluang itu. Namun bagiku membimbing Raisa –agar tidak durhaka—adalah tanggung jawab besar.

Sejauh ini, Raisa juga kubawa ke berbagai majelis taklim. Tak jarang dia kuajak ke konsultan perkawinan yang berada di luar kota. Aku berharap dengan semakin banyak konsultasi dan pencerahan agama, dia akan menyadari kekeliruannya.

Jujur, sesekali ada niat jahat agar Raisa kupaksa untuk melayaniku. Bisikan-bisikan ini biasanya datang ketika larut malam. Namun, aku sadar, apalah artinya hubungan badan yang tanpa cinta. Bukankah seks yang indah itu dilakukan atas keridhaan masing-masing pemilik tubuh?. 

***
Namun sepertinya, Raisa tidak benar-benar mematuhi laranganku. Dia beberapa kali menemui kekasihnya. Hingga suatu ketika aku memergoki mereka sedang berduaan dipinggir pantai.

Wajah Raisa saat itu pucat pasi. Kekasihnya lebih parah lagi. Dia Nampak ketakutan sekali.

“Aku kecewa padamu Raisa. Kupikir kau hanya sekedar tidak mencintaiku. Namun teryata kau berani pula melanggar janji kita. Itu artinya kau tidak amanah. Kau khianat. Aku telah memelihara musuh dalam rumahku sendiri,”

“Abang jangan salah paham dulu. Kami..kami hanya……,”

Belum selesai dia bicara, aku sudah menempelengnya.

‘Kau kejam….!!,” teriak Raisa sambil menangis. Dia kemudian berlari meninggalkanku dan kekasihnya.
Sejenak kemudian aku berpaling kepada kekasih Raisa.

“Aku tak kenal sama kamu. Namun kamu harus tahu bahwa aku suami Raisa. Suka tidak suka, itu kenyataannnya. Aku tak ada urusan dengan cinta gila kalian. Aku berharap agar kamu mau menghormati hubungan kami,” ucapku.

Lelaki itu Nampak menunduk. Namun sejenak kemudian dia bicara.

“Aku minta maaf. Akan tetapi kamu harus paham, bahwa kami takkan bisa dipisahkan. Kami saling mencintai?,” ujarnya seperti kalimat lakon film Bollywood.

Hampir saja kutinju mukanya. Ah… betapa dangkalnya pengetahuan agama lelaki dihadapanku ini.

“Wahai lelaki tolol bin bahlul. Dulu aku sempat menyesal telah membuat kalian berpisah. Tapi setelah mengetahui kadar pengetahuanmu tentang Islam, aku bersyukur telah memisahkan Raisa darimu. Kau hanya iblis yang berlindung dibalik kata cinta. Bahkan kau tega membuat orang yang kau sayang durhaka, hanya karena kebutaanmu pada syariat agama,”.

“Aku tak peduli apa katamu. Aku dan Raisa sudah sepakat untuk membuatmu tidak pernah bahagia bersamanya. Karena dilubuk katiku, aku ingin menikahinya,” jawap pacar Raisa.

“Bilakah Raisa telah kutiduri, masihkah kau mencintainya?,” tanyaku padanya. Sengaja kuajukan pertanyaan itu. Biasanya, bagi lelaki yang dangkal agama, seorang perempuan takkan lagi berharga, bila segel kewanitaannya telah rusak. Karena bagi mereka, keperawanan adalah segalanya.

“Hehehe. Raisa takkan mungkin bisa kau tiduri. Dia adalah wanita yang berani dan bener-benar tulus mencintaiku,”

“Darimana kamu tahu bila dia belum kutiduri?,” tanyaku.

“Raisa tak pernah bohong padaku,” jawabnya.

“Darimana kamu tahu Raisa tidak bohong? Aku saja sebagai suaminya bisa dia tipu. Apalagi kamu yang hanya temannya. Memangnya kau yakin bila aku bisa menahan diri berdua di dalam kamar? Apakah kamu yakin bila aku belum melihat tahi lalat di dekat pinggangnya itu? Apakah kamu yakin, aku takkan bertindak keras, bila tubuh semolek Raisa menolak melayani nafsuku yang notabenenya adalah suaminya?,”

Lelaki itu Nampak diam. Ada rona marah dan bingung dimukanya.

“Silahkan saja kau marah. Yang pastinya kau harus tahu bahwa aku suaminya. Bodoh bila aku tak berhasil meniduri kekasihmu itu. Padahal perkawinan kami sudah  satu tahun,”

“Persoalan dia tak kunjung membuahi anakku. Memang itu kusengaja, agar aku tidak menyimpan keturunan didalam rahim wanita seperti dia. Dia curang. Aku tidak sudi anakku dilahirkan oleh perempuan curang,” tambahku.

Kemudian aku melanjutkan “ Bagiku wanita yang curang hanya pantas ditiduri, tanpa perlu dibuahi. Sekali lagi aku katakan, bohong bila aku tidak menindihnya ditengah dinginnya malam. Bohong bila aku tidak menutup yang perlu kututup dari tubuhnya. Dan bohong pula bila Raisa tidak menikmati setiap gerakan pinggangku yang cukup kuat ini. Bahkan cinta kalian tak berarti sama sekali saat Raisa mencapai klimaksnya diatas kasur pengantin kami,”

“Cukup….. cukup. Aku tidak sudi mendengar ceritamu itu. Raisa telah menipuku. Jadah dia itu,” maki lelaki itu sambil membanting botol minuman ringan.

Tak kusangka, tiba-tiba Raisa muncul dari balik gubuk kecil dipinggir pantai itu. Air mata yang berlinang dan wajah yang penuh amarah dia mendatangi kami. Waktu begitu cepat berjalan. Tiba-tiba lelaki itu sudah mendapatkan dua tamparan dari Raisa.

“Aku baru sadar bahwa kau adalah lelaki sialan. Ternyata cintamu hanya sebatas selangkanganku saja,"


“Lalu, bila tanpa itu, apa istimewanya kamu bagiku?,” jawab kekasihnya itu.

“Dia telah membohongimu. Tapi kali ini aku pantas berterima kasih pada suamiku. Dia telah mengenalkan dirimu padaku dengan caranya sendiri. Lupakan hubungan kita. Aku membencimu mulai saat ini,” kata Raisa dengan mata penuh amarah.

Mereka bertengkar. Aku hanya melihatnya dari jarak dekat. Raisa semakin menjadi-jadi tangisnya. Kecewa dan malu bercampur aduk menjadi satu.

Lelaki itu Nampak tersudut. Dia menyadari bahwa telah masuk kedalam perangkapku. Ia Nampak menyesali dengan apa yang telah dia lakukan. Kali ini aku sangat puas. Berhasil membuat mereka mengakhiri hubungan, dan Raisa mendapatkan pelajaran yang pantas.

Senja sudah berada di sudut laut, ketika lelaki itu meninggalkan Raisa dan aku ditepi laut. Dia pulang dengan wajah tertunduk.

Kuraih tangan Raisa. Dengan wajah penuh persahabatan aku mengajak dia pulang. Dan Raisa tidak menolak tanganku yang memegangnya. Dia manut walau belum mau menatapku. Hari ini aku menang besar.

***

“Aku tidak tahu apakah masih ada maaf dihatimu untukku. Jujur, sebagai istri aku bukanlah wanita yang baik. Kini aku siap menerima apapun darimu. Termasuk bila kau ceraikan,”

Kata itu diucapkan oleh Raisa pada hari keenam setelah peristiwa itu.

“Mengapa kamu berkata demikian?,” tanyaku.

Sejenak Raisa tertunduk. Dia berjalan mendekatiku yang sedang mengetik.

“Sebagai istri, aku telah durhaka padamu. Aku sepertinya tidaklah pantas menjadi istrimu. Aku kotor. Hina. Tidak sebanding denganmu yang berhati mulia dan….,” dia tidak melanjutkan kalimatnya. Bulir-bulir bening mengalir dari matanya.

Dia sesenggukan. Aku kemudian berdiri dan memegang dagunya. Kuangkat wajahnya untuk memandangku.

“Sudahlah. Lupakan semua itu. Malam ini aku memberikan pilihan padamu. Kalaulah kau ingin mundur dari hubungan ini, aku siap untuk mengakhiri ini. Namun bila kamu ingin meneruskan langkah kita, maka peluklah aku saat ini juga. Aku telah memaafkan semua salahmu,” ujarku.

Raisa memandangku. Tangisnya semakin menjadi-jadi. Sejenak kemudian dia memejamkan mata. Aku mengecup dahinya dengan penuh rasa sayang. Usai itu, dia menubrukkan tubuhnya kepadaku. Kami berpelukan.

Tuhan…. Inilah kebahagiaan yang sangat indah. Terima kasih Engkau telah berhasil menjadikanku sebagai manusia penyabar. Sungguh aku mencintai istriku Raisa. Telah kumaafkan semua salahnya. Rahmatilah kami ya Allah.[]



No comments for "Cerpen: Cinta Untuk Raisa"