Cerpen: Jiwa yang Tidak Berdosa

 










"Dia tetaplah seorang bocah yang tidak tahu apa-apa. Terlalu jahat hati kita yang sudah tua-tua ini, bila menimpakan dosa dan rasa marah kepada anak kecil yang masih seputih kafan. Cukuplah lima tahun ini kau menyiksa dia dengan jutaan rindu. Dia tidak akan pernah akan memahami semua sesak dadamu,"


"Bilapun kau terus paksakan baginya sebuah kesumat, maka sungguh rugi aku mengajarimu tentang agama. Dia tetaplah bocah yang seharusnya kau sayang dan sanjung. Tak peduli benih siapa. Sejatinya dia adalah titipan Allah padamu. Masih ingin terus berlari? Silahkan lari lagi. Tapi kau tetap tidak akan mampu mengubah keadaan. Dia adalah anakmu,"


Halimah hanya mampu menyapu air mata yang terus menerus turun. Lelaki yang berdiri didepannya itu telah menampar dirinya dengan kalimat yang begitu menyesakkan.

"Aku baru tahu Halimah. Bahwa hatimu begitu kejam. kau egois. Lihatlah anak ini. Bocah ini. Lima tahun dia hidup sendiri. Hanya dirawat oleh ibumu yang sudah tua renta. Lihat Halimah. Lihatlah anak ini....................!!!,"

Airmata Halimah semakin deras. Ribuan jarum secara tiba-tiba menukik tajam ke ulu jantungnya. Anak lelaki berusia lima tahun berdiri dihadapannya. Badannya kurus dan matanya cekung. Matanya sipit. Mungkin mewakili ayah biologisnya yang sejatinya tidak dikenal oleh Halimah.

Dalam kondisi seperti ini, dia ingin sekali memeluk lelaki kecil yang lugu itu. Namun sesuatu telah menghalanginya. Dia merasa asing dengan bocah berkulit sawo matang itu. Ada jarak yang sangat jauh. Sulit mencari perumpamaan.

Kalau saja lelaki kecil itu adalah buah cinta dengan Do Raman, tentu dia akan segera membekapnya. Bukankah lima tahun berpisah dengan laut sebagai bentengnya, sudah cukup menjadi alasan bahwa rindu akan begitu menggelora. 

Namun, dia bukan titisan Do Raman. Bocah yang bernama Surip itu berasal dari antah berantah. 

"Walau bagaimanapun Surip tak pernah berdosa padamu Halimah," Kata lelaki yang telah berusia 60 tahun itu.

"Aku sendiri telah ikhlas menerima semua kenyataan ini. Dia anak yang baik. Sepeninggalmu, dia tidak pernah membuatku susah. Bahkan kesehariannya, dia selalu mampu mencuri hatiku. Aku sudah rela menyebutnya cucuku," Ujarnya lagi.

***
Halimah telah melanglang buana hingga tanah jiran Malaysia. Do Raman telah lama meninggalkan dia. Bila dihitung dengan tahun, kepergian Raman sama dengan usia Surip.

Do Raman tidak bisa menerima kenyataan. Dia tidak peduli bahwa Halimah tidak pernah memilih secara sukarela jalan hidup yang demikian. 

Kepergian lelaki yang sangat dikasihinya itu telah membuat Halimah semakin terpuruk. Ketika Surip masih berusia 11 hari, dia sudah memutuskan untuk pergi.

"Apakah sudah tak ada rasa iba sedikitpun dalam hatimu kepada bayi malang ini?," Tanya Abdullah ayah Halimah kala itu.

"Apa yang mesti kucintai dari darah daging yang tidak jelas binnya ini? Dia aib. Dia nista. Kalau saja membunuh jiwa-jiwa bukanlah sebuah dosa. Sungguh bayi tak berguna ini sudah kubenamkan dalam kubangan dibelakang rumah," Sahut Halimah sambil menatap benci bayi merah dihadapannya.

"Kalau demikian. Pergilah secepatnya. Biarlah bayi tak berdosa ini kurawat olehku dan ibumu. Pergilah sejauh mungkin. Bawa semua lara hatimu. Bila nanti kau sudah bosan. Silahkan pulang," Kata Abdullah.

"Ayah mengusirku hanya demi anak jadah itu?," tanya Halimah dengan arut wajah kecewa.

"Tak ada pilihan Halimah. Dengan kondisi seperti ini, tak mungkin kalian bisa hidup bersama berlama-lama disini. Aku tak ingin bila bayi merah ini hidup dalam kebencian tak berujung," Timpal Abdullah.

Halimah pun memilih pergi.

Kiranya, sebuah tembang di televisi yang mengisahkan seorang anak yang merindui ibunya, telah membuka hati Halimah. Segera dia teringat kepada bayi merah yang telah lima tahun dia tinggalkan.

Kepada suami barunya dia pamitan. Hendak pulang kampung. Kepada sang suami dia juga berterus terang tentang peristiwa dimasa lalu.

"Kalau demikian, pulanglah. Dia tak pernah bersalah. Dia bukan jadah. Dia juga manusia, yang bila kau abaikan, kau juga turut berdosa," jawab suaminya.

Kemudian berlayarlah Halimah ke pulau Sumatera. Di pelabuhan Belawan dia mendarat. 

***
Anak kecil dihadapannya itu tidak pernah rewel. Sepertinya dia tahu bahwa sang ibu tidak menyukainya. Walau tetap menyimpan rindu lewat sinar matanya, akan tetapi Surip cukup paham bahwa sang ibu tidak ingin mereka berdekatan.

Surip adalah anak yang luar biasa. tetap saja setiap pagi dia mencoba membantu neneknya menjerang air agar Halimah bisa mandi pagi dengan air hangat. Udara gunung Geureudong cukup membuat tulang menggigil. Semua itu diperhatikan dengan seksama oleh Halimah.

Hingga suatu hari Halimah mendengar saat teman-teman Surip bertanya.

"Rip, ibumu baru pulang dari Malaysia ya. Kamu pasti dibawakan oleh-oleh yang banyak kan?,"

"Iya. Ibu bawain aku baju baru serta mainan yang banyak,"

"Tapi kok gak pernah kamu bawa keluar?," Tanya kawan Surip penuh selidik.

"Kata ibu, baju dan mainan baru boleh kupakai dan kubawa keluar kalau sudah lebaran. kan lebaran sebentar lagi?,"

Meledaklah tangis Halimah.  Ribuan penyesalan menukik tajam. Surip yang selama ini dia benci dengan sebenci-bencinya, ternyata adalah manusia yang luar biasa. Dia pandai menyembunyikan lara hati. Dia pintar menjaga kehormatan keluarganya.

Saat Surip masuk kedalam rumah. Halimah segera memeluk Surip. Tangisnya kembali meledak. Lalu menangiskah Surip?

Ya. Anak itu juga menangis. Badannya gemetar saat memeluk sang ibu. Ada jutaan rindu yang sedang dia tumpahkan. 

Sambil terus menangis, Surip berbisik.

"Bolehkah Surip memanggilmu ibu?," 

Mendengar kalimat itu, semakin menjadi-jadilah tangis Halimah.

"Boleh sayang. sangat boleh," Jawab Halimah dengan kalimat terbata.

Abdullah yang sedari tadi melihat itu, nampak tersenyum.

"Terima kasih ya Allah atas anugerahmu," Ujarnya dalam hati.

***
Saat itu Do Raman dan Halimah sudah tunangan. Rencananya mereka akan menikah tiga bulan lagi.

Namun pada suatu malam gerakan perlawanan turun dari gunung. Mereka membuat ulah dengan membakar sebuah sekolah yang terletak dipinggir kampung.

Akibatnya seratusan Kopassus dikerahkan ke gampong yang terletak di perbukitan Gunong Geurudong itu. Mereka mengamuk. Rumah warga dibakar. Beberapa petugas jaga malam ditangkap dan ditembak.

Serdadu kiriman Jakarta itu turut mengobrak-abrik rumah Abdullah. Entah siapa yang memulai, sepuluh lelaki berpakaian loreng itu silih berganti menindih tubuh gadis perawan itu.

Halimah menjerit keras. Tangisannya memenuhi langit malam itu. 

Abdullah tak bisa berbuat apa-apa. Dia diikat dibatang kelapa.

Tak ada lelaki kampung yang berani membela. Semua ketakutan.

Para pemberontak setelah membakar sekolah langsung melarikan diri.

Seminggu setelah peristiwa itu,Do Raman tak pernah lagi nampak batang hidungnya di kampung itu. Tiga bulan kemudian tersiar kabar Do telah menikah dengan perempuan lain di Malaysia.

Halimah semakin terpuruk. Kebenciannya terhadap janin yang sedang dia kandung semakin menjadi-jadi. []









No comments for "Cerpen: Jiwa yang Tidak Berdosa"