Nek Sen & Aceh Pungo


“Aceh sedang kena rabies. Alias kena penyakit Ase pungo!” Itulah kalimat yang terlontar dari mulut Nek Sen. Dia adalah manusia Aceh dari generasi tua. Dia adalah sisa, karena banyak rekan sejawatnya telah banyak yang kembali ke kampung keabadian.

Lalu pasal apakah yang membuat Nek Sen mengutuk Aceh dengan kalimat yang demikian? Selidik punya selidik ternyata anaknya tidak bisa mendaftar CPNS karena status kampus tempat dia kuliah berakreditasi C.

“Habis uang satu karung, di ujung ijazah tak bisa pakek. Ini kurang ajar namanya!” Kata dia lagi sambil menggulung rokok nipah yang berbahan tembakau murah.

Kepadaku Nek Sen bercerita. Bahwa tujuan dia menyekolahkan anaknya agar bisa maju dimasa mendatang. Minimal tidak menjadi petani seperti dirinya. Kalau cita-cita maksimal adalah anaknya itu menjadi guru disebuah sekolah negeri.

“Kenapa Nek Sen begitu alergi pada pertanian. Bukankah anak Nek bisa jadi sarjana juga berkat tani? Lalu apa yang salah dengan pertanian?” Tanyaku penasaran.

“Kamu tahu tidak bahwa tani bukan pekerjaan. Itu hanya kegiatan para pengangguran yang tidak punya pilihan” Jawabnya dengan gaya sok pintar. Mendengar itu aku hanya tersenyum saja. Kemudian aku pamit.

***

Nek Sen adalah angka satu dari jutaan rakyat Aceh yang tidak percaya bahwa tani adalah sebuah profesi yang tidak menguntungkan. Sehingga mereka menganggap tani – yang terbukti mampu menghidupi mereka secara berketurunan—sebagai sebuah pilihan karena tidak adanya pilihan lain.

Menyalahkan Nek Sen secara terang benderang tentu bukanlah sebuah solusi. Apapun cerita dia adalah korban dari sistem pendidikan kita (Aceh) yang memang mendiskreditkan pertanian. Kampus-kampus yang ada di Aceh mencitrakan kepada calon "korbannya" bahwa bila kuliah ditempat tersebut maka akan bisa mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai negeri, karyawan BUMN, anggota dewan dll. Nyaris tidak ada yang mengatakan bahwa :Lulusan kampus tersebut bisa menjadi petani wiraswasta yang handal dan mampu membuka lapangan kerja untuk rakyat yang tidak sekolah.

Secara pribadi saya mencatat bahwa satu-satunya kesuksesan Perguruan Tinggi yang paling monumental adalah berhasil mengubah mindset mahasiswanya menjadi kaum muda yang membenci cangkul, parang, babat dan tangki semprot. Silahkan wawancara mahasiswa yang hari ini sedang belajar di bangku kuliah. Apakah mereka masih mencintai dunia pertanian? Hasil penelusuran saya, rata-rata menjawab “Kalau untuk kembali menjadi petani, ngapai kuliah? Kalau hanya untuk jadi petani, ya tinggal ikut pekerjaan orang tua saja”.

Makanya jangan heran bila mayoritas mahasiswa berduyun-duyun akan mendaftarkan dirinya sebagai tenaga bakti, honorer dan lainnya setamat kuliah. Lalu pertanyaannya adalah: Cukupkah lowongan bakti dan honorer itu? Tentu saja tidak cukup. Lalu sisanya kemana. Kembali ke kampung, mengutuki diri sambil tetap memegang cangkul –sesuatu yang sebelumnya sempat dibenci- dan ikut menanam apa saja.

Dia tetap berharap suatu hari punya kesempatan untuk (minimal)menjadi tenaga bakti di kantor pemerintah. makanya jangan heran bila surat "rekom" dari mereka yang tidak sekolah begitu laku saat ini. Berjuta harganyapun akan dibeli.

***
Di sisi yang lain, untuk jabatan publik, orang-orang seperti Nek Sen menolak memilih orang cerdas dikampungnya untuk diangkat menjadi pemimpin. Untuk Geuchik saja, orang cerdas dan baik-baik (jujur) akan ditolak untuk dipilih oleh mayoritas masyarakatnya. Demikian juga untuk misalkan menjadi anggota Dewan, Bupati, Gubernur dll. Orang-orang cerdas tetap tidak akan diberi kesempatan untuk menang. Sebab Nek Sen cs selalu beragumen dan meyakini bahwa yang bisa menolong mereka adalah sesama petani, sesama pengangguran atau bahkan merak yakin yang bisa mengubah masa depan mereka adalah para bandit, toke sabu, pencuri dan perampok. Sehingga banyak orang-orang demikian yang menjadi wakil rakyat, menjadi Bupati atau gubernur.

Namun pilihan yang dilakukan Nek Sen cs selalu membawa petaka. Petani tak sekolah yang dipaksa untuk memikirkan aturan hukum, tentu akan melahirkan hukum yang celaka. Toke sabu yang diangkat menjadi pembuat aturan yang baik, tentu akan membuat aturan yang celaka. Pencuri yang diangkat menjadi pemimpin tentu akan lebih mudah mencuri, sebab dia telah dikirim ke lumbung uang. Lalu apa yang kemudian bisa dilakukan oleh Nek Sen Cs bila tidak puas dengan pilihannya. Dia akan mengutuk menggunakan sumpah serapah. Ujung-ujungnya dia berteriak “Mana orang-orang cerdas dan baik-baik itu? Kok diam? Apakah kalian sudah dibayar?”

***

Inilah Aceh hari ini. Disatu sisi hidup dan besar dari pertanian. Namun tidak mencintai pertanian sama sekali. Malah rela menghabiskan waktu belasan tahun sebagai honorer dan bakti hanya demi menjadi PNS. mayoritas rakyat Aceh ingin maju dan hebat, akan tetapi di sisi yang lain, rakyat tetap lebih suka memilih para pencuri, toke sabu, petani tak sekolah dan mafia sebagai pemimpinnya.

Lalu soal kampus yang tidak “sehat” membangun opini tentang masa depan sebuah pilihan studi. Saya tidak berani berkomentar banyak. Saya takut nanti akan dihujat oleh mereka yang telah mendapatkan rahmat dari “perjuangan” menjadi orang kampus. Kemudian soal pekerjaan? Ya saya hanya ingin katakan bahwa kita (Aceh) mayoritasnya adalah manusia yang menolak anugerah. Kita dianugerahkan lahan yang subur, namun enggan belajar untuk mengolahnya. Akhirnya selalu saja bule-bule (Investor luar) yang berhasil bercocok tanam ditanah ini.

Lalu tentang Nek Sen. Saya masih ingat celetuk Nek Sen pada suatu hari :

“Celaka dua belas. Menyesal aku memilih si sopir sinso (chainsaw-pen) itu sebagai dewan. Rupanya dia tak punya cukup otak untuk memikirkan kesejahteraan rakyat. Malah yang ada dia menjadi kaya raya setelah jadi anggota dewan”

Saya kemudian bertanya “Nah dia kan tak terpilih lagi. Lalu siapa yang kemarin Nek Sen pilih?" Dia menjawab

“ Si Leman Agen sabu”

“kenapa Nek Sen memilih dia?” Tanyaku penasaran.

“Karena dia itu tidak pelit. Sering menyumbang untuk mesjid dan meunasah. Gemar bersedekah untuk fakir miskin. Tidak sama seperti si sopir sinso itu”. []

No comments for "Nek Sen & Aceh Pungo"