Duek Pengeut Rakyat (DPR)



Setiap lima tahun sekali mereka datang. Baik yang baru mau bertarung, maupun yang sudah pernah duduk di dalamnya –ingin kembali karena empuknya kursi- yang tersedia di dalam gedung wakie rakjat. Soal perilaku, silahkan saja baca koran.


Itulah DPR dalam pandangan Nek Sen –sahabat penulis yang terkadang cerdas dan tidak jarang begonya minta ampun. Bila dulu dia memuji toke sabu yang lolos ke gedung dewan, kali ini dia mulai memakinya. Hal ini dikarenakan banyak perilaku oknum yang punya pangkat sebagai wakil rakyat semakin menjadi-jadi.

Menurut Nek Sen, semakin dia mempelajari perilaku jagoannya yang juga bandar sabu itu, semakin dia dibuat kecewa. Setelah lolos ke gedung dewan, legislator yang tak makan sekolahan itu sudah mulai sombong. Bahkan suatu kali dia pernah dibuat kecewa tak ketulungan. Bersebab si toke sabu itu mulai bicara pengembalian modal.

“Kupike ike away, toke sabe hana dijak meuhitong soai pangkai nyang habeh,” Ujar Nek Sen penuh kekecewaan. (Aku dulu berpikir, bahwa tauke sabu-sabu itu tidak pelit-pen)
Kekecewaan Nek Sen adalah kekecewaan mayoritas rakyat. para politisi hanya akrab dan terkesan peduli kepada rakyat hanya menjelang pemilu. Mereka akan rajin menyambangi rumah rakyat miskin. Ramah. Peduli, pemurah, bahkan siap ditelepon kapan saja.

Namun ketika sudah lolos ke “senayan” sifat aslinya mulai muncul. Enggan turun lapangan dengan berbagai dalih. Mulai menjauh dari masyarakat. Sudah tidak bisa dihubungi dengan telepon. Menolak memberi bantuan dengan alasan masih menombok utang saat pemilu.

Terkait persoalan telepon genggam yang diakui oleh oknum angota DPR sering dimatikan. Itu bertolak belakang dengan perilaku mereka di media sosial seperti facebook. Sebab di website itu sering sekali oknum yang mengaku sibuk itu memajang foto selfienya. Baik saat sedang nyetir.saat sedang berlibur. Maupun saat sedang beramal di tempat baru.

Di dalam gedung dewan yang kehormatannya dipertanyakan itu, mereka tidak lagi berpikir untuk rakyat. mereka hanya sibuk melakukan transaksi politik dagang sapi. Bahakn tak jarang bergaduh dengan sesamanya hanya karena persoalan kekuasaan. 

Maka tidak heran bila gedung dewan itu seringkali berubah menjadi arena tinju, arena pementasan karate dan bela diri lainnya. 

Seorang teman ngopi Nek Sen, yang bernama Abi Raman, kepada penulis pernah berkata. Bahwa DPR itu bukan Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi Duek Pengeut Rakyat (duduk untuk menipu rakyat-pen). Bukan hanya menipu rakyat secara mayoritas. Bahkan mereka tidak sungkan untuk menipu timsesnya yang dimasa pemilu selalu siap pasang badan untuk dia.

Bila timsesnya mulai mendesak, dia akan mencari alasan lain untuk menolak bertanggung jawab atas kelangsungan masa depan timsesnya. Misal dia mengatakan bahwa keberhasilan dirinya menuju ke kursi legislatif, murni karena dukungan  keluarga yang memperjuangkannya dengan penuh cinta dan ketulusan.

Keterlibatan tim sukses hanyalah sedikit saja. Itupun lebih banyak uang keluar daripada uang masuk.

“Kalau tanpa nama besar ayah dan abang saya, mustahil saya bisa lolos. Berharap pada timses, apa sih yang bisa diharap dari manusia yang selalu harus saya bayar itu?,” Ucap Abi Raman mengulang pernyataan seorang anggota DPR.

“Ooo, meunan dipeugah? So nan si gam nyan? Nak kutak bak takue jino laju!,” Tanya Nek Sen yang tiba-tiba kumat darah tingginya setelah mendengar pernyataan Abi Raman. (Ooo, begitukah dia bilang? Siapa nama lelaki itu biar kugorok lehernya sekarang juga-pen). 

“Sabar Sen, jangan pula kau punya tabiat yang sama dengan anggota Diwannirrajim itu!,” Kata Abi Raman sambil mengelus punggung Nek Sen. []



No comments for "Duek Pengeut Rakyat (DPR)"