Cucu Lamiet Belanda
Oleh
Muhajir Juli
Mereka tidak pernah mencintai tanah airnya. Karena sesungguhnya tanah air bagi meraka adalah kemana arah angin bertiup (siapa yang kuat-pen) kesanalah mereka merunduk.
Perang
Aceh dengan penjajah Belanda, telah memakan banyak korban. Baik itu para
pejuang maupun rakyat jelata. Dalam sebuah catatan yang sempat saya baca,
orang-orang yang anti penjajahan, pasti akan tamat riwayatnya di ujung senjata
kaum salibis yang dikirim dari negeri Orange. Bahkan tidak sedikit yang tamat
nasabnya, karena dibantai semua oleh kafir penjajah dan kaki tangannya.
Hingga,
pada suatu masa, mayoritas yang tersisa adalah kaum yang memilih tidak mati
dengan cara menjadi lamiet (budak) penjajah. Lamiet-lamit ini
bertingkat-tingkat pula derajatnya. Ada yang diberikan kekuasaan (jabatan lokal)
sampai ada yang bertugas menjadi penyapu debu di sepatu Belanda. Juga ada pula
yang bertugas sebagai cuak.
Kaum
ini terus berkembang biak. Secara umum cirinya tetap sama dengan orang Aceh
kebanyakan. Berkulit hitam atawa berwarna. Beragama Islam, berbahasa Aceh,
serta juga membawa penyakit keturunan Aceh yaitu pungoe. Walau secara konteks
pungo kaum ini berbeda dengan pungo para syuhada dan anak keturunannya.
Ilustrasi. |
Sejarah
kemudian mencatat, bahwa pasca pergolakan antara Aceh –state Aceh- dengan
Belanda, kemudian diteruskan dengan pergolakan internal Indonesia –PKI/DII/TII/GAM-kaum
ini terus bertumbuh dan mewarnai sejarah. Terkadang berposisi sebagai kaum yang
menzalimi (penguasa bengis-pen),tidak jarang pula, berposisi sebagai yang terjajah.
Seorang
ahli perilaku manusia, yang minta namanya tidak saya catat dalam tulisan ini,
bahwa kaum lamiet itu bisa ditandai dengan dua hal perilaku umum. Bila dijajah
akan berteriak kesakitan (perilaku umum yang sama dengan manusia lainnya), dan
bila diberikan kepercayaan, mereka akan khianat.
Bagi
sebagian kita, untuk mengklasifikasinya tentu akan sangat sulit. Apalagi banyak
diantara kaum itu yang sering menukilkan namanya bernasab dengan pejuang dahulu
kala,yang menyerahkan segenap jiwa raganya demi pembebasan negeri dari
cengkeraman penjajah.
“Ciri
khas utama mereka bila mendapatkan kekuasaan adalah kaku, anti kritik, anti
demokrasi. Panik, pemarah dan kecenderungan berbuat kekerasan terbuka lebar. Ini
sangat cocok dengan karakter indatu mereka yang picik, tak mau susah, menyembah
kekuasaan dan culas.
Setiap
suara yang berbeda, dianggap sebagai bentuk rongrongan terhadap eksistensi
kekuasaan mereka. Bahkan tidak jarang mereka siap bermusuhan dengan Ulama, bila
kekuasaan yang mereka kendalikan dikritik oleh cendekia muslim,” Ujar sang ahli
tersebut.
Lazimnya
lamiet, mereka akan lembut dengan orang yang mereka anggap berada diatas
mereka. Akan tetapi akan sangat arogan dengan manusia yang mereka anggap berada
dibawah derajat mereka.
Ciri
lainnya adalah selalu mengungkit-ungkit jasa, sehingga dengan jasa itu, mereka
bisa berbuat apapun. Bersebab sebuah anugerah, mereka percayai hadir karena
aksi solo kaum mereka.
Ada
dua penyakit kejiwaan yang mengalir di dalam darah kaum lamit ini. Bila berhadapan
dengan sesama bangsa, penyakit megalomania mereka kambuh. Menurut Wikipedia,
megalomania berasal dari bahasa Yunani, Megalo, yang artinya sangat besar,
hebat, atau berlebih-lebihan. Secara gamblang, megalomania bisa kita artikan
sebagai bentuk obsesi berlebihan terhadap dirinya sendiri karena merasa dirinya
paling hebat, paling berkuasa, dan paling besar.
Akan
tetapi bila berhadapan dengan orang yang pangkatnya lebih besar, akan muncul
penyakit kejiwaan yang lain. Penyakit tersebut sehari-hari kita katakan dengan
sitilah minder.
Mereka
tidak pernah mencintai tanah airnya. Karena sesungguhnya tanah air bagi meraka
adalah kemana arah angin bertiup (siapa yang kuat-pen) kesanalah mereka
merunduk.
Siapa
yang banyak uang, berarti dialah kebenaran. []
Bireuen, 14 Januari 2015. Sebuah catatan ringan. email: muhajirjuli@gmail.com. facebook: Muhajir Juli. Twitter: @muhajirjuli.
No comments for "Cucu Lamiet Belanda"
Post a Comment