Assalamualaikum Bu Mulod

Oleh Muhajir Juli
"Di satu sisi masyarakat dianjrukan mengikuti perilaku Nabi, tapi penceramah -merujuk gaya bicara yang penuh caci maki- malah menyerupai Abu Lahab. sungguh dakwah telah direduksi oleh mereka yang dangkal etika dan gagal paham tentang Islam yang benar,"


Bu mulod atau dalam bahasa Indonesia disebut nasi maulid (nasi yang dihidangkan saat maulid-pen) merupakan sebuah kalimat singkat yang sarat makna. Di Aceh, bu mulod sama legendarisnya dengan kisah heroik para pejuang di medan laga dalam mempertahankan tanah ini dari serbuan musuh laknatillah. Baik yang datang sebelum dan sesudah Acehj bergabung dengan NKRI.

Bu mulod telah melintasi zaman yang sangat panjang. Diawali dari kisah pengembalian hadiah raja Aceh oleh Sultan Turki –yang menjadi dasar mengapa maulid di Aceh mencapai tiga bulan lamanya- sampai dengan hari ini masih saja menjadi pembicaraan khusus di bulan peringatan kelahiran Baginda Nabi Muhammad Saw.

Bagi anak Aceh yang berpaham Aswaja-begitu kami disebut- tradisi mulod adalah salah satu ritual agama non wajib yang selalu saja kami tunggu kehadirannya. Karena di bulan-bulan itu, kami bisa makan sepuas-puasnya dengan berbagai menu. Mulai dari geumuloh sampoe sie leumo.

Bulan maulid adalah bulan kemakmuran. Bulan penuh rahmat (begitu kami mengistilahkan). Juga bulan penuh telur ayam. Sehingga telur-telur itu tidak habis kami makan,dan terpaksa kami habiskan sambil berenang di sungai Peusangan yang mengalir melintasi Gampong Teupin Mane.

Bagi saya pribadi, bu mulod yang paling saya tunggu bukanlah buatan orang lain. Tapi buatan ibu. Karena keahlian beliau meramu bumbu, khususnya untuk bu minyeuk (nasi gurih khas Aceh) telah menjadikan nasi buatan beliau menjadi primadona di rumah dan di meunasah.

Secara umum, baik tua maupun muda, tradisi maulid merupakan sebuah ajang silaturahmi antar sesama warga dan warga sekitar. Maka tidak heran, setiap ada yang kebetulan singgah atau lewat, bila bertepatan dengan maulid, pasti akan di undang masuk ke meunasah untuk makan. Hukumnya hamper saja wajib. Pihak pemilik kampong akan merasa tersinggung bila yang diajak itu menolak untuk makan.

Maulid juga menjadi moment pulang kampong bagi seseorang yang telah lama merantau. Alasan menagapa mereka pulang sangat sederhana: Uroe get buleun get, bu minyeuk mak peugot beu meutumeung rasa (Hari baik bulan baik, nasi gurih buatan ibu harus bisa dicicipi-pen).

Mulai bergeser

Setiap pelaksanaan maulid, pasti malam harinya akan diadakan semacam tabliq akbar. Kami menyebutnya dakwah Islamiyah. Acara utama adalah ceramah agama. Ada pembacaan Quran dan nyanyian qasidah yang dulu kami menyebutnya Jeddah.

Tema umum yang dibawakan saat ceramah tersebut adalah soal Sirah Nabawiyah (kisah kehidupan nabi) Muhammad. Sang muballigh menceritakan suri tauladan Muhammad, sambil sesekali melucu untuk membuat acara tidak monoton.

Namun, seingat saya, menjelang remaja, materi dakwah semakin bergeser. Saat konflik pendakwah sering didatangkan dari para teungku GAM. Hasilnya adalah ceramah yang seharusnya menceritakan tentang kebesaran Muhammad, menjadi ajang mencaci maki suku lain tanpa ampun. Isinya subjektif, sesuai dengan kadar keilmuan dan kepentingan si penceramah.

Kemudian saya juga menemukan, penceramah yang mulai mencaci maki kelompok yang tidak mau menyelenggarakan maulid. Bila mendengar apa yang dia surahkan, seolah-olah Islam sangat kerdil. Seakan-akan Islam hanya bicara soalan maulid. Seolah-olah Islam itu maulid nabi.

Bahkan ada pula yang mengatakan siapa saja yang menolak merayakan maulid, maka dia bukan umat nabi. Penceramah itu mengutip hadist dan membacakan arti bebasnya. Tentu dengan pemahaman dirinya sendiri.

Di lain waktu, muncul pula penceramah yang menggunakan model makian. Seluruh pendengar ceramah dicaci maki habis. Bila ada yang mencoba bangun dengan alasan apapun, akan jadi sasaran makiannya. Seolah-olah yang bangun dan meninggalkan ceramah adalah manusia paling buruk yang pantas dipermalukan di depan umum.

Kekecewaan demi kekecewaan saya alami. Penceramah sering kali mewakili sifat panitia maulid. Panitia yang kurang punya ilmu etika, cenderung akan mengundang penceramah yang tidak punya etika. Dimata mereka, Islam itu ya seperti itu. Dalam setiap ceramahnya, selalu saja bertentangan. Bicara kisah nabi, mereka mengatakan bahwa beliau adalah contoh teladan yang baik, tapi giliran memberi contoh dan menasehati orang lain, malah sang penceramah mengambil gaya Abu Lahab (suka mencaci maki-pen).

Akhirnya, saya pribadi sudah kurang meminati dakwah model demikian. Bilapun pergi, saya akan pilih-pilih. Bila sang mubalig saya kenal punya etika dalam berbicara, maka saya akan menghadirinya. Bila sang mubalig hanyalah seorang pelawak dan tukang caci maki, maka saya memilih mencari kesibukan lain.

Semenjak putra saya sudah  bisa bicara (walau masih patah-patah) saya semakin selektif mendengar dakwah. Saya tidak ingin putra saya belajar memaki, justru dari acara yang seharusnya mengajarkan etika dan sopan santun.

Akhirnya, terlepas plus minusnya, apapun ceritanya momen maulid adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari hidup saya. Karena di dalam pelaksanaan tradisi tersebut, saya belajar banyak hal. Mulai dari bagaimana caranya menghargai perbedaan, baik rasa makanan maupun perilaku manusia. Juga belajar bertanggung jawab, saat menjadi panitia dakwah. Juga belajar bicara saat menjadi protocol/MC, maupun saat menjadi penyiar dakwah keliling. 

Akhirnya, Assalamualaikom bu mulod. Pajan mulod di gampong gata?[]



No comments for "Assalamualaikum Bu Mulod"