Aceh (Dalam) Devide Et Impera



Teuku Abdullah Titeue-adik ipar Daud Cumbok, menolak jabatan dan tugas dari API/TKR, karena tidak percaya tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Bahkan informasi tersebut turut tidak dipercaya oleh Ulee balang Pidie. Mereka beranggapan bahwa isu kemerdekaan tidak akan bertahan lama. 


Ini kemudian yang menjadi hujjah bahwa Ulee Balang hendak mempertahankan ke ulebalangan mereka-dengan cara menolak mengakui kemerdekaan Indonesia yang di proklamirkan oleh Sukarno di Jakarta pada 17 Agustus 1945.

Kemudian lahirlah Barisan Pemuda Indonesia pada 12 Oktober 1945, organisasi ini kemudian mengubah namanya menjadi Pesindo yang dipimpin oleh Aly Hasjmy dan Tuanku Hasyim. Organisasi ini bertujuan untuk melawan kaum Ulee Balang yang diduga hendak mempertahankan feodalisme. 

Di Pidie, lahir barisan lainnya yang bernama Barisan Penjaga Keamanan (BPK) yang dilatih oleh mantan Giyu Gun dan dipimpin oleh Ulee Balang. Barisan ini dilengkapi dengan senjata. Pusatnya di Lam Meulo, ibukota Ulee Balang Cumbok. 

Disamping itu juga lahir PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang anggotanya bukan saja terdiri dari ulama, namun orang-orang non ulama juga terlibat aktif. Organisasi ini sendiri tidak diakui oleh ulama semisal Teungku Hasby Ash Siddieqy, Teungku Haji Makam. Tengku Abdul Salam Meuraksa dan lain sebagainya.

Awalnya hanyalah Daud Cumbok, yang diberikan senjata oleh Jepang, melakukan “provokasi” terhadap massa rakyat. Perang pecah. Pada 13 januari 1946 Lam Meulo dapat direbut oleh Kompi I API/TKR dibawah pimpinan Teuku Manyak. Daud Cumbok kalah dan lari. 

Dia kemudian tertangkap pada 16 Januari 1946 dan dihukum oleh hakim rakyat. 

Cumbok hanyalah pemicu saja. Fitnah kemudian menyebar luas bahwa kaum Ulee Balang sejatinya tidak ikhlas dengan kemerdekaan Indonesia yang diakui oleh kelompok republiken. Isu-isu bahwa kaum Ulee Balang hendak mempertahankan kedudukannya santer dihembus. Bahkan, mereka dituduh hendak melanggengkan kekuasaan Belanda di tanah Aceh yang telah diikhlaskan oleh PUSA untuk diambil alih oleh Indonesia.

Revolusi sosial kemudian bergerak cepat. Seluruh Ulee Balang dibantai. Bukan hanya mereka yang sudah dewasa, anak-anak dan wanita pun turut dibantai oleh Barisan Pemuda PUSA. 

Rasa satu bangsa dan satu agama hilang ditelan bumi. Ulee Balang dibantai bak kafir yang harbi yang sedang menyerang negeri muslim. Kaum ningrat yang sebelumnya merupakan teman satu meja makan karena satu perjuangan, dianggap asing dan harus dihilangkan, demi membumi hanguskan bibit para ampon di tanah ini.

Lalu apa yang menggerakkan revolusi sosial Aceh tersebut? Ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, adalah berhasilnya adu domba yang dimainkan oleh penjajah dalam rangka memecah belah rakyat Aceh. Kedua, adanya keinginan oknum-oknum atas jabatan yang selama ini dimiliki oleh Ulee Balang. 

Hamid Azwar, Syamaun Gaharu dan Teuku Nyak Arief menyadari hal yang kedua itu. Sebagai bangsawan sejati, mereka rela menyerahkan jabatan kepada Ketua Pemuda PUSA, Husin Al-Mujahid. Padahal dengan kekuatan Tentara Republik Indonesia (TRI) dibawah kendali mereka, bukan mustahil massa rakyat bisa dihabisi. Namun bangsawan tetaplah bangsawan. Pandangan merak jauh ke depan.

Hari-hari setelah revolusi sosial di Aceh, negeri ini adalah daerah yang kalah. Pemberontakan yang kemudian dilakukan oleh tokoh PUSA dibawah payung DI/TII tidaklah berbuah hasil. Mereka menyerah, setelah sebagian pembesarnya mendapatkan kompensasi. Di hari tua, Daud Bereueh sendiri dikhianati oleh Indonesia. 

Aceh Pasca Damai

Taufik Al Mubaraq, Jurnalis cum blogger di aceh pernah menulis begini: Kini, pasca MoU Helsinki, setelah beberapa tahun usia perdamaian, Aceh kembali menjadi lampoh soh. Dia bukan ditinggalkan pemilik, melainkan pemiliknya seperti kehabisan ide untuk menggarap. Karena dianggap potensial, masuklah anasir-anasir lain untuk menggarap lahan Aceh ini.

Dalam tulisannya yang berjudul Aceh Bukan Lahan Kosong, Taufik menyebutkan bahwa salah satu anasir dari luar itu adalah teroris. 

Sepanjang 2010, kelompok teroris yang sebelumnya memilih beraksi di kota-kota di Pulau Jawa, mulai membangun basis dan jaringan di Aceh. Keamanan Aceh yang kondusif membuat gerakan teroris ini leluasa merekrut dan melatih kader. Mereka juga membangun kamp pelatihan di Jalin, Jantho, Aceh Besar. Beberapa pentolan teroris bahkan sempat mengunjungi Aceh dan memberi pelatihan terhadap anggota yang baru direkrut.

jauh sebelum teroris mengadakan pelatihan di Jantho, konflik internal yang dibangun adalah dengan lahirnya sejumlah partai lokal yang kemudian berdampak pada saling sikut antara sesama Aceh, dengan ambisi untuk menjadi penguasa tunggal. Aceh kemudian dikotak-kotakkan dalam warna, daerah, keturunan dan jasa.

Namun teori untuk memecah belah orang Aceh, baik dengan isu teroris dan parlok, gagal menjadi “revolusi sosial” seperti pada 1946. Para pembuat film kemudian bermain dengan cara-cara lain yang lebih tajam. Yaitu bermain pada ranah keyakinan.

Kemudian muncullah berbagai aliran sesat di Aceh. Rakyat Aceh mulai panik. Bak jamur di musim hujan. Organisasi yang tidak jelas juntrungnya bermunculan. Ujung-ujungnya menjadi aliran sesat. Orang Aceh yang kadung marah, sudah mulai tidak bisa lagi berpikir secara sehat.

Kondisi semakin diramu dan konflik inter Islam pun semakin dipanas-panasi. Hal-hal khilafiyah yang sejatinya bisa didamaikan, sering berujung pada saling caci maki. Hampir disetiap perang opini saling membenarkan, selalu saja muncul orang-orang yang mengaku siap mati, siap berjihad dan lain sebagainya.

Membuka Ruang Dialog

Tentu, kita semua tidak berkeinginan revolusi sosial 1946 terulang lagi di Aceh. Karena itu akan merugikan kita semua. Untuk itu, mulai sekarang jalan dialog sudah harus dibuka, untuk melepaskan uneg-uneg yang tersumbat.

Setiap persoalan yang berhubungan dengan perbedaan mazhab serta cara pandang lainnya, harus dituntaskan dalam forum keilmuan yang dihadiri oleh Ulama lintas mazhab yang ada di Aceh serta umara-agar umara punya tongkat berpijak. 

Ruang dialog menjadi sangat penting, demia tersalurnya ide yang "tergilas", pengetahuan yang "terkunci" dan lainnya.

Para ulama juga sudah harus mengambil alih sektor ini dan mengelolanya dengan bijak. membiarkan kondisi Aceh terus menerus seperti ini, berarti menabung masalah yang menjadi bom waktu. bom demikian yang kemudian bisa dipergunakan sesuka hati oleh kelompok-kelompok yang punya kepentingan di Aceh.

Setiap rakyat Aceh sudah harus curiga dengan orang-orang yang gemar memprovokasi keadaan dengan kalimat-kalimat yang menyulut perang.

Setiap orang yang terkesan paling berani dan siap mati, sudah harus diperiksa sepak terjangnya. Jangan terjebak pada ucapannya. Tapi harus ditelusuri kepada siapa dia bermajikan.

Kita harus memahami bahwa, Aceh bukanlah lahan kosong yang dibiarkan terlantar begitu saja. Tanah ini kaya. Untuk menguasainya secara fair, banyak pihak yang tidak setuju, karena bermakna harus berbagi keuntungan dengan pemiliknya.

Kontestasi politik tahun 2017 sudah semakin dekat. Artinya banyak pihak berkepentingan untuk berkuasa di Aceh. Sebagai rakyat, kita tentu harus berhati-hati dengan manuver-manuver politik. Bila salah “memakan” informasi serta salah menanggapi kondisi, maka musibah besar akan terhidang.

Bagi para penghamba kekuasaan, matinya ribuan rakyat kecil bukanlah apa-apa. Bahkan dianggap sebagai sesuatu yang harus terjadi.

Kita sudah harus belajar pada sejarah. Bahwa pasca peristiwa Cumbok, banyak sekali orang-orang cerdas yang harus mati. Yang tersisa adalah generasi yang penuh kemarahan. Padahal amarah yang tidak terkontrol tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan.

Mari berdialog. Agar keegoisan kita tidak dimanfaatkan oleh para sutradara yang hendak mengalahkan kita untuk kesekian kali. []


Sumber bacaan:
1.    Aceh Dalam perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949. Tgk. A.K. Jakobi

2.    Jumpueng: Aceh Kon Lampoh Soh. Taufik Al-Mubaraq.



No comments for "Aceh (Dalam) Devide Et Impera "