Cerita Dari Cubo: Derita Mertua Mantan Panglima GAM


Muhajir Juli (kanan) dan mertua alm. Abdullah Syafiie

Matanya menatap tajam. Tersirat penuh tanda Tanya. Ketika kami mendekat, sorot mata semakin tidak pasti. Akhirnya sebuah sapa membuyarkan ketegangan.


Namanya Puteh binti Abbas. Usianya sudah mencapai 75 tahun. Penampilannya lusuh dengan kulit mengeriput. Jalannya sudah tidak lagi kuat. Dia mengaku sudah lama diserang sakit pinggang. Kini, dua anaknya juga sakit-sakitan.

Perempuan yang beralamat di Gampong Blang Sukon, Mukim Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya tersebut adalah mertua dari mantan Panglima AGAM, Teungku Abdullah Syafiie, yang meninggal dunia pada sebuah kontak senjata di kawasan hutan Cubo, 22 Januari 2002. 

Saat itu Panglima AGAM –juga disebut TNA, yang low profile itu terjebak kepungan TNI dari satuan Linud 330 yang dipimpin oleh Serka I Ketut Muliaskra.

“Jangankan kepada saya. Kepada Teungku saja mereka tidak peduli. Saat pusaranya hendak dipugar oleh salah seorang Bupati dari Aceh Jaya, GAM di sini (Pijay-red) menolak. Namun setelah disebutkan bahwa keinginan memugar itu karena hajat, barulah mereka menerima,” Kata Nek Teh dengan kalimat terbata-bata, Sabtu (30/5/2015)

Usai membuka percakapan, perempuan yang sempat menjadi sandaran ekonomi Abdullah Syafiie ketika sedang memperjuangkan ideologi Aceh Merdeka, mengajak penulis masuk ke sebuah gubuk yang dibangun dari kayu-kayu bekas.

Di dalam gubuk itu tidak ada perabotan mewah. sebuah dipan kayu dengan beralas tikar dan berkelambu lusuh, menjadi tempat tidur. Dapur sederhana di sudut rumah tanpa makanan mewah. Hanya nasi putih dan ikan asin. 

“Rumah saya sudah dibakar oleh tentara Indonesia. Mereka membabi buta dan menghabiskan apa saja. Termasuk rumah Aceh yang sudah saya berikan kepada anak saya yang menjadi istri Teungku Lah,”

Nek Teh mengaku tinggal di bagian dapur yang waktu kejadian pembakaran, tidak habis dilalap si jago merah. 

“Saya tidak tahu mengapa mereka yang sudah duduk di jabatan, tidak memperdulikan keadaan saya. Bukan maksudnya hendak mengemis, namun rumah anak saya yang saya tempati sekarang, benar-benar dibakar, mereka tahu itu. Namun sampai sekarang tidak kunjung dibangun,”

Saat mengatakan hal tersebut, wajah perempuan yang sempat dibawa-bawa sebagai juru masak oleh Abdullah Syafiie, seperti menyimpan aura kecewa. Pandangan matanya lirih dan kehilangan cahaya. Dia seperti hendak mengatakan bahwa kondisi sekarang sudah tidak benar.

Kepada penulis, dia bercerita bahwa banyak mantan kombatan GAM yang datang padanya dan mengatakan bahwa Aceh sudah merdeka. Awalnya dia percaya. Namun setelah mengecap suasana lama-lama, dia menjadi tidak yakin.

“Kalau sudah merdeka, kenapa masih ada tentara yang naik turun gunung. Kemarin saya dengar, di Pidie tentara menembak orang gunung,”

Dia melanjutkan “Saya percaya Aceh sudah merdeka, tapi untuk mereka saja. Tidak untuk saya,” ujarnya lirih.

Kini, dia tidak lagi berharap agar mantan bawahan menantunya akan memperhatikan nasip dirinya dan dua anaknya yang lain yang kini mengidap kanker. Dia sudah apatis dan putus asa. 

“Saya sudah tidak percaya lagi sama mereka. Semua memikirkan perut mereka semata,” katanya.

Untuk bertahan hidup, Puteh bergantung pada hasil kebun berupa pinang dan juga padi yang berasal dari sawah dia masih ikut turun ke sawah. walau sakit-sakitan, dia tetap harus bergerak. Sebab tanpa uang, mustahil dia bisa makan dan membelikan keperluan hidup lainnya.
 
***
Letak gubuk reot yang ditempati oleh mertua Abdullah Syafiie persis berada di depan makam sang martir. Kondisinya memprihatinkan. Tidak sebanding dengan bangunan makam, sebuah balai pertemuan dan bangunan WC yang dibangun sejajar dibelakang bekas rumah istri sang panglima yang dibakar oleh TNI saat mencari orang nomor satu di tubuh angkatan bersenjata GAM.

Bila hari-hari politik tiba, kuburan “syuhada” perang Aceh melawan Indonesia ramai dikunjungi oleh para eks kombatan dan simpatisan salah satu partai lokal. 

Menurut cerita warga sekitar, penampilan mereka necis. Kontras sekali dengan gaya Abdullah Syafiie yang sederhana. Bahkan kehadiran mereka di komplek yang ditinggali oleh keluarga istri Abdullah Syafiie-istrinya ikut menjadi korban dan dimakamkan pada lokasi yang sama, yang hidup miskin di bawah gubuk reyot tidak berdampak sama sekali pada perbaikan ekonomi ibu mertua Teungku Lah.

Di gubuk, yang oleh Puteh disebut sebagai rumah, terpampang sebuah foto Teungku Lah dengan seragam militer AGAM, memakai kaca mata dengan latar disamping kanan berupa bendera bintang bulan yang terlihat agak buram. Di dekatnya juga terpasang foto hitam putih miliknya Fatimah, istri sang Panglima yang ikut "syahid" pada hari yang sama.

“Foto ini saya rampas dari tamu yang datang. Usai peresmian, ada yang berencana membawa pulang foto itu. Saya bersikeras agar mereka memberikan kepada saya. Saat itu saya bilang:Saya sudah mengikhlaskan semuanya. Biarlah satu lembar foto ini menjadi kenangan,” terang Nek Teh.

***
Pengorbanan Puteh Abbas bukan isapan jempol belaka. Warga di Blang Sukon mengakui dan mengangkat salut atas partisipasi janda tersebut dalam membantu perjuangan Aceh Merdeka yang kala itu digawangi oleh menantunya.

“Teungku Lah sering ketika kehabisan logistik, merangkak pulang ke rumah mertuanya untuk mengambil beras. Sudah menjadi tabiatnya, dia tidak mau merampok. Mertuanya tidak pernah menolak setiap permintaan sang panglima. Bukan karena dia takut, tapi memang dia peduli,” ujar salah seorang warga yang menolak dituliskan namanya karena suatu alasan.

Dia juga bercerita bahwa berkali-kali tentara menginterogasi mertua Panglima GAM, namun tak pernah sekalipun perempuan itu buka mulut. Dia, dengan segala kemampuan yang dimiliki selalu mencoba memberikan perlindungan kepada salah seorang kepercayaan Hasan Tiro itu.

“Kalau soal gertak dan makian, Nek Teh sudah kenyang. Diancam pun dia sudah terlalu sering. Namun politik tetap punya jalan sendiri. Orang-orang baik, apalagi sudah tidak ada, akan ditinggalkan begitu saja. Sebab dunia politik sudah diisi oleh orang-orang baru yang masih hidup,” kata warga lainnya. []



No comments for "Cerita Dari Cubo: Derita Mertua Mantan Panglima GAM"