Inong Aceh

Oleh : Muhajir Juli
“Bila engkau ingin membina rumah tangga, maka hal pertama yang harus engkau tanamkan dalam hatimu adalah keinginan untuk menjaga dan melindungi perempuanmu tanpa pernah coba kau sakiti dia”.
Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut Mak, saat kuberanikan diri untuk menyampaikan keinginan untuk mempersunting gadis pujaan hatiku. Sebuah kalimat yang sangat dalam. Aku tergagap. Tak pernah kusangka Mak mampu menyampaikan kalimat yang sarat makna itu.
“Gam, perempuan itu ibarat bunga. Dia adalah sumber keindahan dan ketentraman. Namun bila tak kau rawat dan kau biarkan apa adanya, dia akan seperti bunga layu tanpa warna. Apalagi bila kau sakiti dia. Perempuan akan berubah kejam melebihi Hitler yang membunuhi Yahudi dulu”.
Kalimat kedua dari Mak membuatku semakin tergagap. Dengan lancar beliau mengucapkan kalimat berpetuah. Padahal Mak adalah perempuan sederhana yang tidak banyak bicara. Dia lebih banyak berbicara dengan hati dari pada menggunakan kalam.
“Aku semakin semakin tidak mengerti apa yang Mak ucapkan....” ucapku sambil mengernyitkan dahi. Menyesal kuungkapkan keinginan untuk mempersunting Mutia pada Mak. Bukannya menjawab keinginanku, malah Mak berceramah tak jelas seperti ini. Apa sangkut pautnya antara keinginan dewasaku ini dengan perempuan ibarat bunga dan melebihi kejam Hitler itu.
Kulihat Mak tetap saja membuat kasab di atas sehelai kain berwarna putih. Aku yakin Mak belum mengizinkan aku menikah, maka bicaranya tidak jelas begini. Rasa bosan menghinggapiku. Kulemparkan pandangan sejenak ke sekeliling halaman depan. Tak ada yang indah dipandang, selain seekor ayam jantan yang sedang”merecoki” seekor ayam betina di bawah pohon jambu air.
“Apakah engkau hanya ingin seperti itu...? menikah kemudian “merecoki” perempuanmu dan setelah itu selesai segala tanggung jawabmu...?”. Tanya Mak sambil melihat kearahku.
Mendapat pertanyaan seperti itu, mukaku bersemu merah. Tak mampu kujawab. Sebab pertanyaan Mak sudah pada substansial. “Aduh..... Mak....Mak ada-ada saja pertanyaanmu” batinku.
“Gam, menikah itu adalah pekerjaan mulia. Namun banyak kemudian yang rontok dan menjadi pendosa hanya karena tidak mampu menjaga pernikahan mereka” kata Mak sambil meletakkan kain kasabnya. Kemudian beliau menuju rak buku di ruang tengah. Kulihat Mak melihat-lihat sejenak sambil mulutnya komat-kamit. Mungkin beliau mengingat judul sebuah buku.
“Mak lupa menaruhnya dimana, namun Mak masih ingat bagaimana isi yang ada didalamnya” ungkap Mak sambi duduk kembali.
“Apa itu Mak...?” aku bertanya penasaran
“Sebuah buku yang menceritakan kisah-kisah kekejaman dan kebaikan para perempuan Aceh yang berstatus istri”. Jawab Mak sambil membetulkan letak kaca mata model bergagang tebal. Kaca mata khas orang-orang dulu. Ah Mak nampak begitu cantik di usianya sekarang.
Mak bangun dari tempat duduknya. Kemudian berjalan sebentar ke halaman depan. Dibaliknya jemuran tepung dengan jari tangannya. Kemudian beliau kembali masuk ke teras.
“Mak, apakah yang membuatmu tidak mengiyakan ataupun menolak keinginanku untuk mempersunting Mutia. Kok malah Mak ngomong gak jelas gini” sergahku bosan melihat sikap mak yang hanya berceramah terus. Namun nada suara tetap kutekan sesopan mungkin. Agar tidak menyakiti hati perempuan yang telah membesarkanku ini.
Mak kulihat tersenyum. Kemudian dia memberikan aku isyarat untuk duduk di sampingnya. Kuturuti keinginan Mak.
“ Gam, balas dendam adalah sangat menyakitkan bagi perempuan. Namun terkadang itu menjadi pilihan bila dirinya merasa terpojok dan dikhianati oleh pasangannya” ungkap Mak sambil menatapku lembut.
Aku kembali terperangah dengan kalimat Mak kali ini. Namun tanpa sempat membantah, beliau kembali bicara.
Di zaman penjajahan Belanda, wanita Aceh tidak mengakui suaminya , hanya kerana ayah dari anak-anaknya itu telah tunduk kepada Belanda. Kejadian itu terjadi di Lhoong Aceh Besar pada tahun 1933. Zentgraaf menulis dalam catatannya bahwa saat itu disebuah desa terdapat 13 pria pejuang Aceh yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun salah satu diantaranya menyerahkan diri kepada Belanda.
Mengetahui hal tersebut, istrinya marah besar. Ia tidak lagi menerima ayah dari anak-anaknya itu. Para penduduk pun mengucilkannya. Akibatnya pria itu terpaksa tidur di sebuah gubuk diladangnya. Saat petinggi Belanda menginterogasi wanita itu, ia tetap tidak mengakui sang suami sambil meludah ketanah di hadapan Kolonel Belanda itu. Bagi wanita itu, suaminya tidak lebih dari seorang pengecut karena menyerah bukan mati syahid seperti pejuang lainnya.
“Hubungannya dengan keinginanku mempersunting Mutia apa Mak, bukankah sekarang bukan lagi zaman perang..?” protesku. Menurutku Mak sudah berbicara terlalu jauh dan tidak masuk akal.
“ Kisah yang Mak ceritakan tetap punya hubungannya dengan kehidupan sekarang.mengapa wanita itu benci kepada sang suami yang berkhianat dan tidak memilih tidak mati syahid?. Banyak pesan Gam yang ingin disampaikan oleh sang wanita kepada anak-anaknya dan mungkin juga kita” kata Mak dengan nada tegas.
“Bagi perempuanmu kau adalah pemimpin yang harus bisa mengarahkan dia menuju kepada kebenaran dan menemukan hakikat kehidupan. Bagi perempuanmu kau adalah panglima yang harus bisa memerintahkan dia untuk mengerjakan sesuatu yang benar menurut ajaran agama” jawab Mak tegas.
Aku masih terbengong. Mak malahan sudah kembali berbicara layaknya seorang filsuf yang memahami betul hakikat kehidupan. Sambil terus menjahit kasabnya beliau menambahkan bahwa tak ada kebanggaan bagi seorang perempuan yang telah dipersunting oleh seorang lelaki kecuali sang suami membawa pulang harta yang halal serta mampu dan mau menjaga dirinya seperti layaknya seorang wanita yang disebut “istri”.
Kau harus pandai benar menjaga keyakinan perempuanmu bahwa kau adalah imam yang lurus. Perempuan yang ingin kau persunting adalah perempuan Aceh Gam. Terkadang bila kau mampu menjaganya dia akan selembut peri di cerita dongeng. Bila kau sakiti dia akan murka melebihi Singa kelaparan. Walau balas dendam merupakan sesuatu yang sangat sakit bila harus dilakukan, namun bagi perempuan Aceh hal itu bukan suatu yang mustahil.
Mak kemudian menambahkan bahwa di dalam sejarah yang dicatat oleh seorang wartawan perang Belanda yaitu Zentgraaf bahwa pernah suatu kali seorang perempuan Aceh memotong kemaluan sang suami akibat si lelaki menduakannya tanpa sebab yang jelas. Walau sang suami adalah pejuang, namun si istri dengan rela hati memberitahukan persembunyiannya kepada Belanda.
Semua orang mungkin akan menyalahkan sang istri yang dianggap berkhianat kepada perjuangan. Namun pada hakikatnya belum tentu seorang pejuang itu bisa berlaku adil dalam sebuah rumah tangga.
“ Tapi kan Mak, Mutia tidak mungkin seperti itu....” aku mencoba menolak cerita Mak.
“Maksud mak bukan bertujuan menakut-nakutimu untuk tidak menikah dengan Mutia Gam, namun siapapun perempuan itu, yang mereka inginkan pasangan hidupnya adalah lelaki hebat dan lurus dalam mengarungi biduk rumah tangga” jawab Mak dengan nada penuh penekanan.
Mak kemudian kembali angkat bicara
“Gam. Perempuan itu ibarat Mawar. Dia butuh perlindungan dan perawatan. Bila kau lalai maka tunggu saja tanganmu berdarah dengan durinya yang tajam. Pesan Mak padamu janganlah kau sakiti Mawar yang ada di kebunmu”.
Aku terkesiap. Tak yakin dengan ucapan Mak. Ada sinyal dari Mak yang memberikan aku izin untuk mengkhitbah Mutia.
“ Silakan saja kau persunting mawar pujaan hatimu itu Gam. Namun ingat jangan sekali-kali kau bawa pulang harta haram kerumah tempat dia bernaung. Sekali kau bawa hak orang lain kerumah perempuanmu, maka satu nilai kebanggaan untukmu akan hilang dimatanya”. Kata Mak penuh takzim
Kulihat keluar teras. Matahari mulai menampakkan semburat merah. Mak berjalan menuju halaman depan. Digulungnya kain panjang tempat menjemur tepung. Dalam gurat ketuaannya dia masih nampak cantik. Pantas saja dia begitu bangga bila bercerita tentang almarhum Abah yang dikenal jujur oleh kawan dan lawan politiknya. Ternyata hidup sederhana asalkan dari sumber halal merupakan kebanggaan Mak. Mungkin juga kebanggaan setiap perempuan Aceh yang lain.

*Penulis adalah Kadiv advokasi dan Kampanye LSM GaSAK Bireuen juga sebagai wartawan di The Globe Journal

No comments for "Inong Aceh"