Karena kemiskinan Kami Abadi



Kehadapan Yang Mulia Baginda Negeri Bawah Angin.

Tuan, beta sudah berputus asa mencurahkan isi hati kepada para pembesar koloni kecil dimana tanah ini saya pijak. Bersebab banyak mereka yang merasa kaya, melihat curhat beta sebagai hal yang mengada-ada. Bahkan banyak pula yang menuduh hamba sebagai kacung yang sedang menerima bayaran untuk memfitnah para hulu balang yang dimuliakan oleh seluruh alam.

Tuan Maharaja negeri bawah angin. Banyak kisah yang menuliskan bahwa koloni-kolini baginda adalah negeri yang makmur. Bahkan alasan itu pula yang menyebabkan penguasa nusantara abad ini mencoba menguburkan makna sesungguhnya tentang kehebataan negeri ini dimasa lalu. Bahwa kita bagian dari aneksasi mereka yang hanya punya kerajaan-kerajaan kecil –kebetulan saja menjadi awal masuknya Islam di seluruh nusantara dan Asia Tenggara- tulis mereka dalam literatur sejarah. Jikalau saja Ibnu Batutah, Marcopolo dan penjelajah lain alpa menuliskan kemasyuran negeri ini, sungguh mereka juga akan mengingkari itu. Sama seperti mereka menolak fakta bahwa negeri saya pernah menjadi Ibukota Republik walau hanya satu hari. Bahkan peran Seulawah Air ways saja sudah jauh-jauh hari mereka bantah sebagai cikal bakal Garuda Indonesia yang sekarang gagah di angkasa. Konon lagi peran utama negeri bawah angin dalam menjaga kemerdekaan nusantara. Tentu mereka sangat ingkar untuk mengakuinya.


Beta tidak sedang menggugat kejahilan perilaku mereka yang di seberang laut. Sebab sejak dulu hamba sudah mengetahui bahwa mereka selalu saja curang. Selalu ingkar dan tidak jujur. Khianat serta tak berperikemanusiaan.

Tuan, sekali lagi izinkan saya mencurahkan sedikit asa. Bahwa sehebat apapun Yang Mulia mengambarkan bahwa negeri ini sudah sejahtera dan rakyat anda kaya raya, saya hanya ingin sampaikan bahwa kami telah abadi dalam kemiskinan.

Hamba tidak tahu dimana letak kesalahan. Namuan gelontoran emas yang kemudian di foya-foya oleh para saudara para penguasa, tidak sedikitpun yang mengalir ke lorong jalan tua buatan Belanda di ujung jembatan lama yang kini besi-besi tuanya telah diangkut ke negeri Jawa dengan dalih harta negara.


Tuan, lorong kami telah dikutuk untuk tetap miskin. Sejak ibu bapak hamba berdomisili disana, hingga hamba telah pula meninggalkannya, lorong itu tetap ditinggali oleh rakyat papa yang tersudut dalam kemiskinan yang akut.

Sekali lagi, hamba tidak hendak menyalahkan siapapun. Karena bila hamba mengatakan demikian, akan datang para raja-raja kecil yang kemudian akan mencaci maki hamba dengan kalimat yang tidak sejahtera. Bahwa benar hamba telah bosan dengan segala hina dina, padahal hamba mencoba menyampaikan sesuatu yang benar. Ternyata kebenaran tidaklah selamanya menjadi indah. Terlalu banyak manusia yang merasa apa yang hamba sampaikan adalah sebuah aib. Dan itu tidak mereka sukai.

Tuan penguasa negeri bawah angin. Bila kiranya masih ada anggaran yang tersedia di akhir tahun. Sudilah kiranya turun ke lorong dimana hamba dilahirkan dan dibesarkan dengan cinta. Disana kemiskinan telah abadi. Lorong yang dihuni oleh akyat-rakyat celaka yang tidak punya hubungan apapun dengan sanak saudara para penguasa. Bahwa disana beralamat orang-orang pasrah dan selalu saja siap berputus asa.

Tuan, bila anda meminta data, sungguh hamba tidak akan sudi menuliskannya lagi. Sebab bila hamba tuliskan, maka orang-orang miskin itu banyak yang akan merasa tersinggung dan berbalik memusuhi hamba. Walau sering pula mereka bercerita bahwa betapa celakanya nasipnya.

Tuan. Hentikanlah sejenak pertengkaran saudara. Karena kisruh politik anda hanya menjadi konsumsi media dan bagi kami tak berguna apa-apa. Baik atau tak baik hubungan anda, bila belum blusukan ke lorong saya, tentu anda seperti tak pernah ada bagi kami yang telah hampir mati disana.

Bilapun Tuan memaksa. Baiklah. Sedikit saya akan bercerita. Bahwa di lorong tua itu, hiduplah puluhan KK celaka yang tiang rumahnya hampir rubuh dimakan usia. Bahkan banya pula yang hanya menancapkan kayu-kayu lapuk, sekedar untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Makanya bila suatu saat anda berkunjung dan melihat jejeran bangunan mirip kandang sapi milik Yang Maha Mulia Tuan Raja Negeri, itulah rumah kami. Rumah ibu bapak dan saudara-saudara saya.

Disana janda tua sakit-sakitan tanpa perawatan yang layak. Disana kaum-kaum lansia hidup dalam kondisi kurang gizi. Disana anak-anak tumbuh dengan ala kadarnya. Bahkan bila satu tetangga membeli mobil-mobilan plastik untuk anaknya, maka anak yang lain akan menatap dengan binar mata berkaca-kaca.

Tuan yang terhormat, satu garansi dari saya. Bila suatu waktu anda berkesempatan berkunjung ke lorong sial itu, anda tidak perlu ragu. Kulit anda tidak akan luka tidak akan gatal. Sebab walau hidup dalam nestapa, kami tidak memelihara bakteri layaknya perilaku hulu balang yang kaya raya.

Bila Tuan berpenyakit asma. Saya sarankan untuk membawa obat secukupnya. Karena selain panas, gubuk kami juga agak berdebu. Bukankah hanya itu penyakit orang kaya seperti Tuanku?

Demikianlah isi curhat saya. Saya tak berharap akan datang para raja dan menyumbang harta benda. Namun, agar saya tidak berhutang di Yaumil Qiyamah –karena tidak menyampaikan fakta- itulah sebabnya saya menuliskan kabar ini kepada Yang Mulia.

Salam hormat saya.

Muhajir Juli

Lahir dan besar di Lorong jalan tua, Dusun Paya Santewan, Teupin Mane. Juli, Bireuen, Negeri Bawah Angin (Aceh-Sumatera) Email: Muhajirjuli@gmail.com.










No comments for "Karena kemiskinan Kami Abadi "