Cerpen: Kutitip Cinta Pada Ombak Samudera


Maya, jangan tanyakan lagi mengapa aku harus meninggalkanmu. Ini bukan persoalan nyali. Bukan pula masalah setia atau khianat. Namun bagiku meninggalkanmu merupakan sebuah jalan, agar tidak ada yang pincang dan kehilangan harapan dalam menempuh curamnya hidup.

Maya, cintaku padamu, lebih luas daripada samudera. Lebih tinggi dari puncak Everest. Bahkan lebih dalam dari palung laut Mariana yang terletak di samudera pasifik. Bahkan aku meyakini, bahwa akulah manusia yang paling mencintai cinta itu sendiri.

Penolakan ayahmu terhadapku adalah sebuah kesakitan yang tidak dapat kutanggung. Dia menghinaku di depan semua keluargamu. Aku masih mengingat pertanyaannya yang menyudutkanku kala itu.

“Apa kelebihanmu sehingga berani datang kemari dan melamar anak saya?,”

“saya mencintai anak bapak melebihi rasa cinta saya kepada apapun,” jawabku lirih.

“Luar biasa. Namun kau tahu anak muda hidup ini tidak cukup dengan cinta. Kau butuh yang lain. Apakah kau punya itu?,”

“Iya pak. Saya punya rasa sayang yang melebihi apapun terhadap Maya,”

“Anak muda. Aku rasa aku harus bicara to the point padamu. Kau terlalu bodoh untuk menafsirkan pertanyaanku. Apa harta yang kau punya, sehingga berani datang kemari?,”

Akh... aku tercekat. Aku terdiam. Sebuah tanya yang meminta jawaban materi. Harta. Oh dunia.

Aku keluar dengan terhina. “Jangan pernah kembali kesini, bila kau hanya bermodalkan cinta tololmu itu,” kata ayahmu sambil berlalu dihadapanku. Aku kalah. Aku tersudut.
***

Maya, aku tahu, bila setelah kejadian itu kau merajuk habis-habisan. Kau mencoba mempertahankan hubungan kita yang telah terjalin lama.

“bawa aku lari bang. Aku tidak sanggup hidup tanpa dirimu,” katamu pada suatu sore.

“kemana?,” jawabku pelan.

“kemana saja asal kita bisa hidup bersama. Aku tidak mau dinikahkan dengan pemuda kaya asal Malaka itu,”

Aku hanya tersenyum pahit mendengar ajakanmu. Seandainya saja ketika ajakan itu kau sampaikan, kamu sudah berstatus janda, sungguh mudah bagiku untuk membawamu pergi. Namun, kau ini perawan. Gadis yang belum dinikahi siapapun. Ada tembok besar yang tidak bisa kulalui.

“Mengapa kau diam. Apakah kau tidak berani menikahiku diperantauan?,” sergahmu ketika jawaban tak kunjung kuberikan.

“Maya, membawamu lari merupakan pekerjaan mudah bagiku. Namun menikahimu tanpa wali, itulah pekerjaan tersulit dan nyaris mustahil untuk kulakukan,” jawabku sambil menelan air ludah yang terasa pahit.

“Mengapa?,”

“Sejauh yang kuketahui, menikahi seorang perawan tanpa persetujuan wali, maka bathil. Haram. Tidak sah,” jawabku pendek .

Kami kemudian terdiam. tak ada kalam yang keluar. Masing-masing kami bermain dengan pikiran sendiri. Kalut, ya rasa sesak menyusuri tiap rongga jiwa. Patah hati. Tentu saja. Ah cinta. Betapa mabuk dan sulitnya mendefinisikan arti.

“Maya, tentunya kau ketahui betapa besar rasa cinta ini. Namun kau juga tahu, bila ayahmu tidak pernah setuju dengan hubungan kita. Tinggalkanlah aku. lupakanlah aku,”

Aku lihat bulir-bulir hangat mulai turun teratur dimatamu yang sembab. Kau menangis. Demikian juga aku. kita sama-sama menangis.

“Kembalilah kepada beliau. Jangan kita paksakan cinta ini. Apapun kondisi dunia ini. Sebetapapun berat rasa ini. Bapakmu adalah surga bagimu. Selama kau belum menikah, dia masih menanggung dosa-dosamu,” kataku pelan sembari membujuk.

“kau tidak mencintaiku bang.......?!!,” kataku sambil terisak.

Aku tidak langsung menjawab. Masih ada suasana hati yang perlu kutata. Ada rasa yang harus kuredam. Ingin kupeluk Maya dalam kondisi seperti ini. Namun aturan Tuhan membatasiku.

‘Inilah cinta yang sesungguhnya Maya. Kembalilah ke orang tuamu, agar kebaikanmu di dunia di catat oleh malaikat tanpa cacat,” kataku sambil mencoba menahan tangis yang kesekian.
***

Aku tak tahu apa yang kau ceritakan kepada bapakmu. Hingga pada suatu hari dia menyambangi rumahku ditepian pantai Selat Malaka
.
Matanya sembab. Tak ada rona pongah diwajahnya yang menua.

“Siapa namamu anak muda?,”

“Abdullah,” jawabku pelan.

Tiba-tiba dia menubrukku. Aku sempat kaget. Dia memelukku erat. Tangisnya meledak.

“Maafkan bapak nak. Bapak berdosa padamu,” katanya disela-sela tangis.

Aku hanya terdiam. tak ada kata yang mampu kuucap. Sebab bingung melanda hati ini.

“Seandainya saja akad itu bisa kubatalkan, maka kau adalah menantu yang akan kubawa kerumah hina itu,”

“Apa ini pak. Saya tidak mengerti,” kataku pelan.

Dia kemudian melepaskan pelukannya. Dia mencoba tersenyum kepadaku.

“Maya telah menceritakan semua tentang ajakan kawin lari yang telah dia rencanakan jauh-jauh hari. Namun kau menolak. Luar biasanya, penolakanmu bukan karena masalah ekonomi. Namun kau takut akan dosa yang harus kupikul, dan tentang keabsahan pernikahan kalian,” jawabnya masih dengan mata sembab.

Aku hanya terdiam saat itu. “bapak salah menilaimu. Kaulah sebenarnya yang berhak menjadi imam bagi Maya yang rapuh. Namun semua telah menjadi bubur. Ada akad yang harus bapak hormati dengan jiran di Malaka,”

“Bapak punya satu permintaan kepadamu. Bila kau penuhi, saya sangat berterima kasih, namun jikalau kau tidak mau memenuhinya, bapak juga tidak bisa berbuat apapun,”

“Apa itu pak?,” tanyaku.

Dia mendehem. Kemudian setelah sejenak diam dia mulai bercerita bila kau Maya sudah bertekad tidak mau menikah dengan pangeran di Malaka.

“Ini bukan sekedar persoalan cinta. Ini menyangkut hubungan dua keluarga. Dua dunia yang hendak bersatu. Tolonglah bapak nak. Apapun yang kau minta akan bapak penuhi. Asal kau mau membuat Maya sakit hati padamu,” bujuknya.

Aih... ada luka yang kembali tumbuh.

“Bapak tahu tidak bila ini menyakitkan bagi saya?,” aku bertanya kepada lelaki itu.

“Bapak tidak memaksa. Bilapun kau tidak mau, tidak ada dunia yang akan runtuh. Hanya saja bapak yang akan terpojok,”

Aku kembali diam. Ayahmu Maya, dia kembali bercerita, bila seandainya dia tidak terlibat utang bisnis, tentu gampang saja dia memutuskan hubungan dengan pangeran Malaka. Namun hutangnya telah menggunung. Kau satu-satunya jalan. Bahkan Pangeran Malak berjanji akan menjagamu, seperti dia menjaga dirinya sendiri.

“Silahkan Abdullah menilai bapak bagaimana. Namun bapak terjepit. Ini menyangkut hajat hidup karyawan bapak. Termasuk keluarga bapak dan semua yang berhubungan dengan saya,”

“Baiklah pak. Saya akan mencoba meyakinkan Maya, bila Pangeran Malaka merupakan pelabuhan yang tepat untuk dirinya. Saya tidak minta bayaran untuk ini. Kembalilah pak, aku berjanji, Maya akan melupakanku. Bahkan dengan rasa benci yang meledak-ledak,” kataku sambil tersenyum.
***

Ah, betapa beratnya saat kau mulai tidak menyukaiku. Pengakuan seorang wanita muda bila dia sudah kutiduri membuatmu remuk. Kau hancur dan langsung memakiku dengan seribu kecaman.

Andai saja kau tahu bila ini semua adalah kepura-puraan, andai saja kau tahu ini adalah rekayasa. Namun ini adalah jalan.

Sebuah tempeleng mendarat tepat diwajahku. Kau menangis histeris. Kau melemparku dengan apa yang ada dihadapanmu.

“Inilah jalan Tuhan. Bapak benar, kau bukan lelaki yang baik. terima kasih selama ini kau tidak ikut merusakku. Dasar buaya yang tidak tahu diuntung...!!!,”

Ah ada rasa sakit yang timbul. Aku kau maki karena sebuah salah yang kurekayasa.

“Memang, lelaki liar, miskin dan hina sepertimu tak layak bersanding denganku. Bedebah sial. Menyesal aku membelamu di depan bapak. Bila akhirnya hanya malu yang dapat kutuai sebagai hasil. Lelaki najis....,”
***

Kini, kau telah dua tahun pergi meninggalkanku. Meninggalkan semua kenangan dengan penuh rasa sakit hati. Kau pergi dengan semua sumpah serapah

Rasa cinta itu masih ada untukmu Maya. Lewat ombak Samudera Hindia ini kutitipkan cinta. Waktu tidak bisa kubawa mundur. Aku tersakiti dengan semua kebohongan ini. Namun apalah artinya sesal, bila perkawinanmu itu mampu menyelamatkan banyak orang.

Selamat tinggal kenangan. Semoga semua rasa ini dilamun oleh ombak Selat Malaka. Agar aku tidak menderita dan mampu menjemput cinta pada lain dara.
***
Sebuah kartu ucapan belasungkawa kutemukan dibawah meja diteras rumah.

//Pangeran Abdul Aziz bin Datuk Syarikat di Malaka telah berpulang ke Rahmatullah//
***
Banda Aceh, 5 Juni 2013


1 comment for "Cerpen: Kutitip Cinta Pada Ombak Samudera"

  1. Mengena di hati.

    Ada sedikit kalimat yang rancu dan tidak langsung bisa dicerna, atau saya yang memang bodoh.

    Mohon maaf jika lancang.

    ReplyDelete

Post a Comment