Tidak Ada Jalan Lagi ke Roma






Setelah membaca, dia melirik kepada orang-orang yang sedang bicara kemajuan Aceh. Ya, mereka memang berpakaian necis. Dan minum kopi pahit campur telur ayam kampung -sebuah minuman yang tergolong elit untuk kalangan masyarakat kampung-.

Seorang warga miskin berdiri didepan gubuk reotnya

Siang begitu panas. Matahari seolah sedang melakukan pesta pemanggangan diatas bumi. Lelaki tua yang hanya tamatan SMP itu nampak berpeluh dibawah langit. Sisa-sisa tenaganya diupayakan semaksimal mungkin untuk terus membabat rumput ilalang tua yang terlihat sudah kehilangan gairah hidup.

“Pak, beras sudah habis........!!!,” teriak perempuan tua dari gubuk reot.

Lelaki tua yang bernama Husen itu mendongak dari rerumputan panjang. Kemudian dia beranjak mendekati perempuan tua yang bernama Aminah. Perempuan tua itu adalah istrinya.

“Apa tidak ada sisa sedikitpun  Minah...?,” tanya Husen.

“Habis total pak,”

“Apa masih ada sisa uang...?,”

“Sejak seminggu lalu kita tidak punya uang lagi pak,” jawab Aminah tanpa selera.

“Kalau begitu kau rebus saja dulu ubi itu. Kan masih bagus,”

“Bagus kali tentu tidak. Sudah masuk angin. Tapi tak apalah,”

Minah segera mengambil ubi yang terletak dibawah dipan kayu. Dia kupas dan cuci. Begitu hendak direbus, dia baru sadar, bahwa garam juga sudah habis.

“Alahai ayah si Leman, garam juga tidak ada lagi,”.

Mendengar itu, Husen segera bangkit dari duduknya.

“Baiklah, aku akan coba hutang dulu sama Toke Min. Siapa tahu dia kembali baik hati hari ini,”

Kemudian dia segera beranjak meninggalkan gubuknya yang tidak berlistrik. Minah hanya menatap suaminya dengan rasa kasihan. Namun apa boleh buat, kondisi ekonomi mereka memang tidak pernah baik.

“Semoga saja si bapak dapat hutangan lagi kali ini,” ujarnya dalam hati.

***
Pasar-pasar nampak sepi. Warung kopi seperti tidak ada peminatnya. Padahal, dulu warung kopi adalah tempat tongkrongan paling asyik sepanjang waktu.

Husen singgah di warung Toke Min. Setelah sedikit berbasa basi, dia kemudian mengutarakan maksudnya kepada Toke Min. Namun kali ini sang Toke menggeleng.

“Maaf Pak Husen. Kali ini aku tidak dapat membantu. Bisnisku seret. Daganganku tak laku.

“Satu minggu saja toke. Nanti setelah pinang saya jual, pasti saya bayar,”

“Maaf Pak Husen. Bukan pelit. Kan pak Husen lihat sendiri. Dagangan sepi. Nyaris tak ada yang laku sekarang,” kata Toke Min.

Husen tidak lagi meminta. Dia sadar dengan kondisinya dan kondisi Toke Min. Dia melirik ke dalam. Warung kelontong milik Toke itu nyaris kosong.

Melihat Husen menatap nanap kedalam warungnya, ada rasa sesak dari juragan kampung itu menolak permintaan Husen. Namun mau bagaimana lagi. Kali ini dia benar-benar tidak mampu membantu.

Husen menyerah. Untuk menghilangkan galau hatinya, dia meraih koran di atas meja. Dia membaca berita disana. Seorang lelaki berkumis dan berjambang, dengan pongahnya bicara di koran itu.

......................"Sekarang kemiskinan di Aceh di bawah 15 persen. Pada akhir 2016, kami menargetkan tidak ada lagi kemiskinan di Aceh," .........................................

Karena tak paham apa yang dituliskan itu, Husen meletakkan kembali koran itu. Dia mencoba mengingat-ingat, siapa lagi yang bisa didatangi untuk dimintai bantuan. Jreng..... pikirannya segera melayang ke Insinyur Maun. Kontraktor cukup ternama itu, mungkin bisa menjawab masalahnya.
Segera dia ke rumah kontraktor yang dikenal ramah itu. Setelah beberapa kali dia memberikan salam, barulah sang tuan rumah menjawab.

Maun segera tersenyum ketika melihat Husen datang. Namun wajahnya seketika cemberut dan mendung saat Husen menyampaikan maksud kedatangannya.

“Pak Husen. Kali ini saya minta maaf. Sudah hampir setahun saya tidak bekerja. Proyek tidak ada satupun yang berhasil saya menangkan. Bahkan aset yang ada sudah saya jual untuk kebutuhan sehari-hari,”

Wajah Husen ikut meredup. Maun tak tega. Lelaki miskin yang duduk di depannya itu, tergolong baik dan suka membantu siapapun. Kemudian dia meraih koceknya dan mengambil uang Rp 20 ribu.

“Untuk saat ini, hanya ini yang saya punya.,” kata Maun sambil memohon maaf. Kemudian dia memanggil istrinya untuk membantu beras satu bambu. Istri Maun yang baik segera memenuhi permintaan istrinya.

Walau maksud hati tak kesampaian, namun untuk dua hari kedepan, beras sudah aman. Garam sudah terbeli. Dia berterima kasih kepada Maun. Kemudian pulang.

***

Saat duduk dikedai kopi pada sore harinya, sekelompok orang-orang sedang membicarakan  tentang masa depan. Tentang Aceh yang kaya. Tentang perjuangan.

Mereka, dalam bincang-bincang pongah itu mengatakan bahwa bila 70:30 sudah berhasil, maka kemakmuran akan semakin nyata di negeri para aulia ini.

Husen yang dari tadi tak memesan satu gelas kopipun mendengar itu dengan tanpa selera. Matanya kembali melirik koran bekas. Kali ini dia mencoba membacanya dengan lebih baik.

.....................................Meski Provinsi Aceh memiliki uang setelah berstatus otonomi khusus, belum mampu mensejahterakan rakyatnya. Aceh termasuk dalam 10 provinsi termiskin di Indonesia.Pakar ekonomi dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh Islahuddin mengatakan Aceh merupakan daerah terkaya ketujuh di Indonesia berdasarkan APBD per kapita 2010.Islahuddin menyebutkan, desentralisasi  dan otonomi khusus bagi Aceh akan menerima lebih dari 100 triliun anggaran sejak 2010 sampai 2014.

Saat berakhirnya Dana Otonomi Khusus pada 2023  di perkirakan mencapai Rp 400 triliun lebih."Ironisnya, wilayah Aceh masih miskin dengan peringkat tujuh, ada kesenjangan ekonomi antara Aceh dan nasional semakin melebar," katanya di Banda Aceh, Senin (15/10/2012).Islahuddin yang juga tim Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP) Aceh mengatakan, anggaran yang melimpah itu tidak menunjukkan kesejahterakan rakyat, setidaknya ini bisa  terlihat dalam lima tahun terakhir ini.Angka kemiskinan Aceh saat ini masih 19,7%.
...............................

Setelah membaca, dia melirik kepada orang-orang yang sedang bicara kemajuan Aceh. Ya, mereka memang berpakaian necis. Dan minum kopi pahit campur telur ayam kampung -sebuah minuman yang tergolong elit untuk kalangan masyarakat kampung-.

Husen menelan ludah. Sudah lama dia tidak minum kopi yang demikian. Setelah puas menikmati sore sambil berpuasa minum kopi, dia beranjak pulang.

***
Seorang lelaki bertubuh tinggi marah-marah di meunasah setelah usai shalat magrib. Dia membentak setiap lelaki yang ada disana. Persoalannya adalah, suara partai lokal yang dia puja-puja tidak menang di kampung itu.

“Kalian semua tidak tahu berterima kasih. Bagaimana kita merdeka dan dapat 70: 30, bila kita tidak menang. Heh..... jawab...!!! kenapa diam...!!!??,”

Tak ada yang berselera menjawab. Lelaki itu tambah marah. Namun karena tak ada yang meladeni, dia akhirnya pulang dengan muka merah padam. Baru kemudian laki-laki lain, termasuk Husen ikut pulang.

Di gubuknya yang sudah hampir rubuh. Dia merebahkan diri. Minah, istrinya yang setia itu, sedang memarut kelapa untuk dicampur dengan ubi rebus.

“Sudahlah pak, jangan dipikirkan terus menerus. Masih banyak jalan ke Roma,” ujar istinya mencoba berfilosofi.

Mendengar apa yang disampaikan oleh Minah, Husen tersenyum.

“Minah, sudah tidak ada jalan lagi ke Roma. Semua sudah ditutup. Bilapun ada, ongkosnya luar biasa mahal,” kata Husen sambil bangkit dari tidur dan duduk di dekat Minah.

Dia mengambil sepotong ubi rebus, dicampurnya dengan kelapa kukur tanpa gula dan tanpa garam. Kemudian dia memakannya.

“Maafkan aku, bila di sisa-sisa hidup kita, kau tambah merana,” kata Husen polos. Ada sesak yang bergelayut dihatinya. Ada tetes air  yang keluar dari sudut mata. Untung saja gelap sangat berkuasa, jadi  Minah tak tahu bila Husen menangis.

Minah hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Husen.

“Sudahlah pak. Biarpun jalan ke Roma sudah tak ada, setidaknya aku masih bisa bersamamu. Bagiku, hanya kamu yang paling bernilai di dunia ini. Kalaupun ke Roma tak sampai, namun keladang tetap bisa kita jalan kan? ” ujar Minah penuh cinta. Dia tertawa kecil. Kemudian ikut makan ubi rebus dengan campuran kelapa kukur. Tanpa gula dan tanpa garam.

Malam semakin larut.  Mereka berdua memilih tidur. Sebab besok masih ada mimpi yang harus diraih. Masih ada harap yang harus dicapai. Minimal, besok ada beras yang mampu dibeli.

Jangkrik tak satupun yang bernyanyi. Kodok apalagi. Mungkin binatang-binatang itupun sudah tidak lagi menemukan jalan lain ke Roma. Angin diluar berhembus kencang. Namun kering dan membawa aroma kemelaratan. []




Banda Aceh, 21 April 2014. Ruang Sempit Demokrasi

No comments for "Tidak Ada Jalan Lagi ke Roma"