Opini: Antara Aceh, Prabowo dan Jokowi



Oleh Muhajir Juli


"Jokowi sendiri, walaupun besutan partai PDI-Perjuangan, namun dalam kenyataannnya, dia secara pribadi tak pernah terlibat dalam konflik Aceh. Bila kelak dia terpilih, kekhawatiran akan menjadi boneka Megawati akan terbantahkan dengan sendirinya. Sebab tak mungkin seorang presiden akan menjadi “wayang” seorang ketua partai. Sebab kedudukan presiden jauh lebih tinggi dari ketua partai,"

Aceh terbelah. Aktivis terbelah dua, eks GAM terbelah dua. Politikus, akademisi, mahasiswa serta rakyat jelata juga terbelah dua. Partai politik juga demikian adanya.

Terbelahnya Aceh kali ini, dikarenakan politik pemilihan presiden di Jakarta—sesuatu yang sempat tidak begitu populer di Aceh--. Kontestasi pilpres Republik yang masih simpang siur tanggal kemerdekaannya ini kini mampu menjadikan Aceh “membara” dalam dua kompor gas, yaitu pendukung Prabowo dan Jokowi.
Partai Aceh yang berkoalisi dengan Gerindra. Dikuti oleh partai kaki tangan Jakarta seperti PKS, Golkar PAN, PPP dll bersatu dalam kubu Prabowo Hatta. Hal ini diikuti pula oleh aktivis, mahasiswa, akademisi dan komponen lain yang pro Prabowo.

Di sisi yang lain, Partai Nasional Aceh (PNA) yang pada pemilu legislatif 2014 minim kursi parlemen, yang juga “berkoalisi” dengan Nasdem, serta beberapa partai lainnya berlabuh ke Jokowi-JK. Diikuti pula oleh aktivis, mahasiswa, akademisi dan komponen lainnya yang pro Jokowi-JK.

Sedangkan PDI-P Aceh, yang notabenenya adalah partai yang paling tidak populer di Aceh setelah PDA dan PKPI, sudah pasti berada di gerbong Jokowi. Tentu tak perlu saya jelaskan mengapa mereka berada disanakan?

Banyak kalangan menilai, bahwa, Prabowo akan menang mudah di Aceh. Sebab dia didukung oleh PA, yang merupakan partai paling populer di Aceh, walau mereka banyak kehilangan kursi di pileg 2014 kemarin.

Para pendukung tradisional partai lokal itu, ditambah dengan suara-suara dari gerbong lainnya, termasuk mahasiswa cit murit itu, akan menjadikan Prabowo mampu menggulung Jokowi di bumi Iskandar Muda.

“Walau kehilangan banyak kursi kali ini, namun PA tetap berkuasa di Aceh,” demikian alibi yang dikatakan oleh salah satu pengamat.

Pihak yang mengklaim Prabowo akan menang mudah di Aceh, mengasumsikan bahwa isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Kopassus di Aceh saat era Prabowo menjadi Danjennya takkan begitu berefek. Sebab, pihak PA sendiri—yang diklaim paling mewakili Aceh- tidak mempermasalahkan itu.

Bahkan, suara Aceh untuk Pilpres kali ini mutlak akan masuk ke kantong Prabowo-Hatta. Kenapa mutlak? Karena jagoan yang dimenangkan Cuma satu. Tidak banyak seperti saat pileg kemarin.

Konon lagi, Prabowo berkomitmen akan membangun pabrik padi di kampung halaman Muzakir Manaf dan pabrik ban di pantai barat Aceh.

Bagi kalangan yang mendukung Jokowi-JK malah berkata sebaliknya. Bagi mereka, pasangan nusantara tersebut akan mampu mengungguli Prabowo, dikarenakan sejarah dan track record.

Jokowi sendiri, walaupun besutan partai PDI-Perjuangan, namun dalam kenyataannnya, dia secara pribadi tak pernah terlibat dalam konflik Aceh. Bila kelak dia terpilih, kekhawatiran akan menjadi boneka Megawati akan terbantahkan dengan sendirinya. Sebab tak mungkin seorang presiden akan menjadi “wayang” seorang ketua partai. Sebab kedudukan presiden jauh lebih tinggi dari ketua partai.

“Tak ada ketua partai yang mampu menurunkan presiden. Yang ada presiden mampu membubarkan partai,” ujar seorang pengamat.

Kedua, sebagai seorang pengusaha dan politisi, Jokowi juga dikenal bersih dan visioner. Dia merupakan dambaan pemimpin ideal ditengah karut marutnya bangsa ini. Sederhana, tak banyak bicara serta merakyat adalah ciri khas dari pria kurus keturunan Jawa asli dan Islam asli itu.

Bila menyebut JK, tentu tak ada yang bisa membantah, bahwa berhasil duduknya GAM dan RI dalam satu meja perundingan, merupakan buah tangan dari kerja keras JK sejak menjadi menteri di era Megawati, maupun ketika menjadi wakil presiden saat berduet dengan SBY.

***

Lupakan hiruk pikuk dukung mendukung. Sebab bagi kedua pendukung, pasti sudah punya jawaban logis—bagi yang belum punya alasan, segera carikan alasan-- agar tidak kelihatan ikut-ikutan.

Namun yang harus kita perhatikan, seberapa besar kedua pasang calon kandidat itu mampu menjawab persoalan Aceh dimasa mendatang.

Aceh, seperti kita ketahui bersama masih ada persoalan terkait KKR, revitalisasi kawasan industri, kemiskinan, korupsi. Juga soal hutan dan lahan Aceh.

Ini harus benar-benar kita cerdasi. Sebab bila salah, maka yang akan menjadi taruhan adalah masa depan Aceh, yang artinya masa depan kita semua.

Mungkin, masalah kemanusian dalam konteks ini saya menyebutnya KKR, menjadi isu paling utama yang harus diperhatikan. Sebab, bila masalah ini tak kunjung tuntas, maka takkan tuntas pula masalah Aceh. Masalah ini pula yang ditinggalkan oleh SBY untuk Aceh.

Siapakah diantara kedua kandidat yang paling mungkin menuntaskan soal KKR?

***
Sebagai bagian dari rakyat Aceh, saya tentu sudah punya pilihan untuk presiden Indonesia kedepan. Namun demikian, saya perlu menjelaskan disini beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, secara hitungan politik, Aceh dengan jumlah pemilih sekitar 3 juta orang, tidaklah masuk dalam kalkulasi kedua pasang kandidat presiden itu. Kita berada pada posisi yang tidak seksi untuk model demokrasi suara terbanyak.

Kedua, bila masih ada yang gamang dalam menentukan pilihan. Pilihlah calon presiden yang paling banyak didukung oleh orang baik, jujur, cerdas dan terbukti tidak pernah menipu orang lain.

Ketiga, pilihlah sesuai hati nurani. Jangan mudah goyah dengan hasutan orang lain. Karena bisa jadi yang mempengaruhi anda sedang mencari sesuap nasi untuk dirinya serta keluarganya.

Keempat. Pilihlah yang paling banyak dipilih oleh orang lain. Agar suara anda tidak sia-sia.

Kelima, pelajari track record calon presiden.

Keenam, jangan cepat lupa pada sejarah.

Semoga menjadi bagian dari ikhtiar untuk mencari pemimpin yang ideal bagi Aceh dan Indonesia.[]

Bireuen, 31 Mei 2014. Ruang sempit demokrasi.




No comments for "Opini: Antara Aceh, Prabowo dan Jokowi"