Cerpen: Perahu yang Tak Berlabuh


Oleh Muhajir Juli
“Sampaikan pada jejakamu itu, bila pada ujung tahun ini dia tidak datang melamar, maka bapak akan mengakhiri kisah cinta kalian. Masih banyak lelaki yang bersedia menjadikanmu permaisurinya,”

Cinta adalah satu-satunya alasan mengapa Bukhari berlabuh ke negeri Malaysia. Datang sebagai pendatang resmi, namun dengan pendapatan yang pas-pasan, akhirnya lelaki asal Tanjong Tunong itu memilih menjadi imigran gelap dengan status ilegal dinegeri Tun yang bermata uang Ringgit itu.

Sebelum berangkat ke tanah airnya Siti Nurhaliza, Bukhari sempat yakin bahwa negeri itu adalah surga yang ramah kepada siapa saja. Apalagi kepada Aceh, yang dari cerita teman-temannya, Malaysia memperlakukan warga Aceh dengan sangat baik.

Namun ternyata cerita indah itu hanya bualan semata. Pekerja luar tetap dianggap sampah. Apalagi datang kesana hanya sebagai pekerja informal disektor yang sejatinya tidak disukai oleh rakyat Malaya.

Dua tahun menjadi pekerja ilegal karena tak sanggup memperpanjang izin tinggal resmi, telah membuat Bukhari paham betul bahwa rakyat Malaysia juga bangsa Melayu yang rasis. Siapapun akan dianggap sampah oleh mereka. Konon lagi manusia seperti Bukhari yang hanya tamat SD. Satu-satunya keahliannya hanyalah menjadi kuli.

Bukhari tetaplah seorang pemuda Aceh yang terbelakang. Walau bekerja teusut leubo, penampilannya tetaplah parlente untuk ukuran pendatang haram. Bersepatu boot kulit buaya. Baju dengan merek luar negeri. Dan tak lupa topi pet khas pemuda kampung di Aceh.

Kemana-mana menjinjing tas kecil – gaya intel kelas kerupuk singkong di Indonesia--. Rokok tetap dipilih yang mahal dan bermerek negeri Eropa. Nongkrong di mal-mal. Dan selalu berfoto ria  dan kemudian mengunggahnya di facebook. Tujuannya adalah agar warga kampung Tanjong Tunong memberi nilai betapa sejahteranya Bukhari di negeri Melayu paling rasis sedunia itu.

Lari dan lari. Itulah pekerjaaan sehari-hari lelaki berusia 29 tahun itu. Siben alias polisi saban hari merazia tempat Bukhari bekerja. Banyak yang tertangkap. Namun tidak sedikit yang berhasil kabur dari sergapan petugas penegak hukum.

Satu-satunya alasan mengapa dia terus bertahan, hanyalah faktor cinta. Halimah adalah alasan  yang membuat kakinya tetap teguh menantang Malaysia yang angkuh itu. Sebab, bila pada ujung tahun ini dia gagal bawa mahar, tentulah gadis pujaan hatinya akan disalib oleh si Raman, yang merupakan jejaka kampung Tanjong yang cukup bertaji karena punya warisan kebun dan sawah yang luas.

Dilema cinta ini sudah berputar cukup lama. Anatara kesetiaan Halimah, komitmen Bukhari dan keteguhan Raman adalah dinamika tersendiri dari pola hubungan segitiga. Kekuatan Raman ada dipihak orang tua sang gadis pujaan. Dengan statusnya sebagai jejaka kaya, dia diterima dengan baik oleh Polem Deurih dan Cut Po Raudah.

Kedua pasang manusia itu memberi batas hingga akhir tahun ini. Bila pada purnama yang akan datang Bukhari belum juga muncul dihalaman rumah mereka, maka cinta itu akan segera harus selesai. Sebab dengan demikian Raman bisa masuk untuk melamar. Itulah hal yang paling tidak diinginkan oleh bukhari.

“Sampaikan pada jejakamu itu, bila pada ujung tahun ini dia tidak datang melamar, maka bapak akan mengakhiri kisah cinta kalian. Masih banyak lelaki yang bersedia menjadikanmu permaisurinya,” ancam Polem Deurih pada Halimah. Dan kalimat itu dituliskan olehnya dalam surat yang dikirimkan kepada sang pujaan hati.

***
Ramadhan tinggal menghitung hari. Bukhari dan beberapa warga Aceh lainnya sudah bersiap pulang ke negeri kaya raya yang beribukota Banda Aceh. Segala kebutuhan dikumpulkan. Seperti cindera mata, baju-baju yang masih bagus, serta koleksi beberapa sepatu boots yang bermerek ulat.

Kumandang azan subuh baru saja usai ketika sebuah boat tongkang yang sudah berusia uzur bergerak lambat ditengah ombak selat Malaka. Gelombang yang tak ramah berkali-kali menampar badan tongkang yang nampak kepayahan bergelut dengan samudera yang galak.

Didalam boat uzur itu, 90 manusia berjubel berdesak-desakan. Setengah badan boat sudah tenggelam akibat membawa beban yang diluar kapasitas. Anak-anak, perempuan dan laki-laki bercampur jadi satu.

Bukhari sedang mengkhayal berjumpa dengan Halimah ketika sebuah kapal patroli dengan lampu sorotnya yang tajam menderu menuju kearah mereka. Seluruh penumpang tongkang panik.

Kapal patroli itu terus menderu dan tiba-tiba

Gedubrak................!!!!

Tongkang tua itu ditabrak. Penumpangnya menjerit. Sebagaian menyeru asma Allah. Anak-anak menangis. Satu balita yang sejak tadi duduk di pinggir boat terpental kelaut. Dalam hitungan detik dia hilang dalam gelombang.

Ibu si balita menangis histeris. Namun tak ada yang bisa diperbuat. Dihadapan mereka, tentara diraja Malaysia telah berdiri dengan gagah. Senjata mereka acungkan ke hadapan sipil miskin yang rata-rata tak berpendidikan itu.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama. Serdadu Malaysia itu langsung memeriksa penumpang boat. Setelah memastikan bahwa semua penumpang adalah imigran gelap, segera saja mereka meminta semua uang yang dibawa.

“Tak boleh ringgit kami kalian bawa pulang kesana. Kalian para budak sialan yang hanya bisa membuat tugas kami semakin berat,” maki seorang tentara sambil mengumpukan uang dari penumpang kapal yang sudah pucat pasi.

Sedang asyik-asyiknya mereka mengumpulkan uang, tiba-tiba tongkang berderit dan oleng. Pelan-pelan mulai tenggelam. Semua penumpang menyebut asma Allah dengan seruan panik.

“Tolong kami pak cik. Boat mau tenggelam,” kata Bukhari sambil mencoba naik ke kapal patroli.

Ternyata hati serdadu itu telah membatu. Bukannya memberi pertolongan. Malah Bukhari yang mencoba cari selamat ditendang dibagian dada. Kemudian popor senapan mendarat dimukanya. Dia tersungkur. Dengan tendangan karate, akhirnya membuat Bukhari terjun kelaut.

Kondisi semakin genting. Tongkang semakin tenggelam.

Beberapa penumpang lainnya mencoba berepegangan pada dinding kapal patroli. Namun pukulan popor senjata dijemari mereka, membuat satu persatu mereka terjuan kelaut. Anak-anak yang histeris ketakuatan satu peratu tenggelam bersama orang tua mereka. Beberapa sempat muncul dipermukaan ombak. Namun rentet senjata membuat mereka memilih tenggelam sementara. Ada harapan untuk segera kembali mengapung. Namun karena ombak sedang menggila, akhirnya mereka kalah bergelut. Matiu kemudian adalah pilihan.

Tentara diraja yang pongah, menyaksikan semua petaka itu dengan dada pongah. Tak ada berlas kasihan. Bahkan dimata mereka, para imigran gelap itu, lebih layak dilamun ombak, daripada hidup menjadi sampah dinegeri mereka.

Ratip-ratip terdengar silih berganti. Jerit histeris timbul tenggelam. Hingga akhirnya hilang setelah satu persatu digulung laut selat Malaka.

Bukhari sempat sesekali muncul dipermukaan air asin itu. Nampak wajahnya kehilangan sinar. Cita-cita pulang kampung hilang. Yang tersisa adalah harapan untuk terus bertahan ditengah ombak samudera yang ganas.

Sempat beberapa kali wajah Halimah dan mak di kampung melintas diingatan Bukhari. Namun, maut begitu cepat bergerak. Kini tubuh kekar mantan muazzin itu telah kaku ditengah selat Malaka.

Dia tak pernah sampai dihadapan Halimah. Dia tak pernah berlabuh di Kuala Langsa. Surat terakhirnya kepada sang kekasih mungkin adalah isyarat bahwa dia takkan pernah sampai.

Halimah, bila kau telah puas menunggu dan aku telah berusaha, namun kita tak kunjung bertemu. Maka lupakan semua kisah kita. Pulang adalah hal terberat bagiku.

Ini bukan soal telah pudarnya cintaku padamu. Akan tetapi ombak selat Malaka  jarang sekali ramah kepada manusia sepertiku yang disebut pendatang haram.

Bireuen, 27 Juni 2014.

1 comment for "Cerpen: Perahu yang Tak Berlabuh"

  1. Menusuk sekali tulisannya kawan, semua disebabkan keserakahan pemerintah kita.. Btw apa tulisan ini brdsarkan kisah nyata bang??

    ReplyDelete

Post a Comment