Murua



Bila anda bertanya binatang apa yang paling dimusuhi oleh orang kampung pemelihara bebek dan ayam. Jawaban mereka pasti kompak menyebutkan nama Murua. Binatang sejenis kadal yang bentuk badannya mirip Komodo. Tapi badannya berukuran lebih kecil. Saya sendiri pernah beberapa kali harus kehilangan ayam dan bebek karena di ambil paksa oleh binatang yang punya lidah yang berbisa itu. Murua adalah pemburu berdarah dingin. Dia kejam. Tak peduli apakah milik orang kaya ataupun milik masyarakat miskin. Dia kanibal sejati bagi bangsa ayam dan bebek.

Bagi bangsa ayam dan bebek serta unggas lainnya, kehadiran Murua di habitat mereka merupakan sebuah ancaman yang serius. Sebab bila saja ada dua atau lebih bangsa Murua maka ancaman genodisa sudah di depan mata. Pembunuhan besar-besaran akan terjadi. Untuk itulah ayam kampung dewasa sering tidur diatas pohon. Namun keberuntungan dapat terbang agak lumayang tinggi tidak dimiliki oleh bebek. Sehingga siang malam unggas yang bisa berenang itu terancam kehidupannya.

Saya masih ingat, seorang teman gagal mendapatkan baju lebaran, karena ayam yang disiapkan oleh orang tuanya sebagai modal untuk membeli baju lebaran, hilang secara misterius saat bermain di rumpun bambu.

Ular, sebagai reptil penghuni semak-semak sempat menjadi tertuduh. Bahkan si Leman –pemuda pengangguran- juga ikut menjadi tertuduh. Sehingga beramai-ramai ibu-ibu bergosip bahwa si Raman adalah biang dibalik gagalnya teman saya mendapatkan baju baru.

Namun semua terbongkar, ketika ayam dan bebek warga lainnya juga ikut hilang secara misterius. Padahal ular di rumpun sudah dibunuh oleh warga yang kesal. Si Leman pun sudah dikawal dengan baik. Ternyata, seekor Murua yang selama ini tidak teridentifikasi, tertangkap tangan sedang menyeret seekor ayam jantan jenis kampung ke semak-semak. Nasip baik berpihak kepada Murua itu. Walau sudah ketahuan, namun dia berhasil menyelamatkan diri. Saya tidak tahu apakah sekarang dia masih hidup. Tapi yang pasti semakin banyak saja binatang itu di rumpun bambu kampung saya. Mungkin anak cucu si Murua yang legendaris itu.

Lalu apa hubungannya antara Murua dengan tulisan saya ini. Sejatinya saya sedang tidak hendak mengupas perilaku Murua, karena dia hanyalah seekor binatang yang secara sunnatullah diberikan insting predator untuk mempertahankan hidup di alam liar.

Akhir-akhir ini, saya mulai resah. Sebab manusia yang berperilaku seperti Murua semakin banyak di negeri ini. Mereka berada di komunitas manapun. Sifat mereka sama persis dengan Murua asli. Yang membedakan hanyalah statusnya saja.

Manusia yang berperangai Murua selalu siap merampas hak orang lain dengan cara bahtil bahkan sering pulang dengan cara-cara kasar. Murua-murua seperti ini selalu siap bergonta-ganti profesi. Bisa jadi bulan lalu dia seorang wartawan. Kemudian bulan ini menjadi aktivis. Besok menjadi kontraktor. Bulan depan menjadi cukong. Bahkan siap pula menjadi nelayan atau petani. Tergantung proposal dan hibah pemerintah.

Maka jangan heran, bila akhir-akhir ini banyak PNS di dinas perikanan berubah menjadi nelayan. PNS di dinas pertanian menjadi petani. Aktivis yang tiba-tiba menjadi nelayan. Wartawan yang dalam waktu hitungan minggu telah menjadi pemilik yayasan. Juga ustad-ustad cap priep yang tiba-tiba punya dayah karena ada bantuan di Badan Pembinaan Dayah. Juga “Bupati” yang tiba-tiba menjadi ustad hanya karena ingin menguasai sebuah balai-balai milik Negara.

Murua-murua demikian, sejatinya lebih berbahaya dari Murua sungguhan. Bila yang sungguhan hanya mencuri bebek atau ayam sekedar memenuhi tuntutan perutnya. Maka yang jadi-jadian akan lebih sadis. Mereka akan menyikat apapun hanya demi memenuhi tuntutan perut, tuntutan bawah perut dan tuntutan gaya. Lalu mari bertanya: Apakah kita juga bagian dari Murua jadi-jadian itu?. []






No comments for "Murua"