Eksepsi dari Mantan Perokok yang Kembali Merokok
Anggap
saja tulisan ini pembelaan saya terhadap tudingan miring yang di alamatkan
kepada para smokers. Apa yang saya sampaikan tidaklah masuk dalam kategori
kajian ilmiah. Jadi tidak perlu ditanggapi dengan penalaran keilmuan.
Begini
ceritanya, dulu saya adalah perokok berat. Sampai dengan tahun 2008, saya bisa
menghabiskan tiga bungkus rokok sepanjang 24 jam. Terkadang lebih, bila banyak
tangan-tangan jahil merogoh kesucian bungkus rokok saya.
Saya
sudah pernah menghisap berbagai jenis rokok yang dijual bebas di pasaran. Mulai
dari merek ternama, sampai cerutu yang tidak bertuliskan apapun. jadi tidak
perlu ditanyakan lagi saya cenderung bermazhab ke mana dalam soal hisap
menghisap.
Lalu
kenapa saya berhenti merokok pasca 2008? Ceritanya panjang. Namun satu hal yang
pasti, saya sudah menemukan fakta bahwa merokok tidak memberikan dampak positif
bagi saya. Bahkan sebelum saya memutuskan berhenti merokok, tubuh saya mudah
sekali masuk angin. Serta saat bangun pagi, badan saya terasa berat.
Lalu
mengapa pula pada tahun 2015, saya kembali merokok? Ceritanya juga panjang. Namun
cerita padatnya begini: bahwa saya harus mencari sesuatu yang bisa membuat saya
bisa melupakan duka lara di hati yang terkadang membuat sakitnya tuh di sini.
Sebagai
seseorang yang pernah insyaf dan kemudian kembali ternoda dengan nikotin, saya
merasa bahwa saat ini mulai banyak orang yang mulai nakal menilai saya
macam-macam. Bahkan ada yang berani menuding saya tidak lagi sayang kepada
keluarga karena kembali terjatuh ke dalam limbah nikotin.
Benarkah
demikian? Percayalah, bahwa perokok tidak sekejam yang kau bayangkan. Merokok bukan
berarti tidak mencintai anak dan istri. Anda pasti salah alamat, bila
menunjukkan arah itu sebagai alasan untuk menentang perokok ideologis seperti
saya.
Jadi
bagi perempuan muda, tidak perlu lebay lah mengatakan kepada pasangan:
“Sayang,
bila engkau merokok, berarti tidak sayang sama aku,”
Atau
begini:
“Pilih
aku atau rokok,”
Lebay
dan kejam. Duh. Sakitnya tuh di sini. Kamu jangan lupa bahwa kamu dan rokok itu
dua hal yang berbeda. Keduanya dibutuhkan, namun dalam konteks yang tidak
pernah sama.
Benar
memang, merokok itu boros. Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk beli
beras, sudah dibelanjakan untuk rokok.
Namun
hal demikian tidak berlaku bagiku. Silahkan Tanya kepada teman-teman saya,
apakah selama ini (semenjak kembali terjerembab ke dalam lembah nikotin) saya
sudah menghabiskan uang berjuta-juta untuk membeli rokok?
Tentu
saja tidak. Saya masih tetap bisa berhemat. Caranya? Saya numpang nakal dengan
merogoh kesucian bungkus rokok teman saya. Pelitkah saya? Bisa iya bisa juga
tidak. Tergantung dari sudut pandang mana anda melihat.
Di
akhir tulisan ini, kiranya saya perlu menjelaskan sesuatu. Saya menyesal
kembali terjerembab ke dunia hitam kecoklat-coklatan ini. Dalam hati yang
paling dalam, saya ingin keluar dari dunia yang penuh asap tersebut.
Bila
kelak saya tetap juga gagal menjadikan penyesalan ini sebagai batu untuk
meloncat keluar, maka satu pesan saya : Cintailah perokok. Suatu saat engkau
akan mengerti mengapa orang-orang seperti saya bisa terjerembab dalam pekatnya
nikotin. []
No comments for "Eksepsi dari Mantan Perokok yang Kembali Merokok"
Post a Comment