Sang Mafia
Hujan
lebat. Kilatan petir menyambar Rhoxes, ibukota Negara Porlandinesa. Guntur silih
berganti bergemuruh dilangit yang gelap. Sudah sejak dua jam yang lalu, kota
itu tidur dalam buaian angin malam yang dingin.
Marcozoc,
pimpinan tertinggi persekutuan kokain sekaligus Presiden terpilih negara itu,
duduk sambil menghisap cerutu dalam-dalam. Sesekali dia melepaskan asapnya ke
udara. Dihadapannya, duduk dua orang lelaki tambun.mereka David dan Herman
Canton.
“Jadi
Tuan tetap menolak tawaran Presiden kami?,” tanya David sambil meneguk Vodka.
“Tawarannya
tidak populis di sini. Dia masih mempergunakan gaya Spanyol merebut Brazil,”
jawab Marcozoc santai.
“Tapi
dengan demikian, tidak butuh modal besar,” timpal David.
“Presiden
mu terlalu bodoh untuk ukuranku. Mungkin di negara kamu, gaya-gaya Machieveli
secara murni bisa diterapkan. Tapi di sini, di Porlandinesa hal demikian sama
sekali bukan pilihan,”
Marcozoc
bangkit dari duduknya. Dia menyibak tirai jendela. Menatap keluar gedung. Sejenak.
Kemudian kembali menatap dua lelaki utusan rekan politiknya dari dunia ketiga.
“Spanyol
merebut Brazil dengan cara menembak dan menyerbu. Akibatnya apa? Mereka dibenci
oleh penduduk lokal. Kemudian mereka terusir oleh perlawanan rakyat.
Kemudian,
lihatlah Portugis. Mereka masuk ke Brazil dengan membawa banyak hadiah yang
tidak ada di Brazil saat itu. Rakyat di sana menyambut gembira dan menerima
Portugis dengan tangan terbuka. Padahal, semua hadiah itu harus dibayar oleh
penduduk dengan cara yang mereka tidak sadari,” katanya sambil menatap kedua
lawan bicaranya.
“Tuan
Presiden. Apakah cara yang anda tempuh tidak mahal dan lama?,” tanya Herman.
“bila
engkau ingin menaiki langit, maka sediakan tangga yang panjang. Politik adalah
hitungan. Apakah engkau meragukan kemampuanku menghitung laba rugi?,”
Kedua
lelaki utusan Presiden Zenino terdiam.
***
Marcozoc
adalah contoh pemimpin reformis dan patut dijadikan contoh teladan. Demikian pemberitaan
koran-koran terbitan ibukota. Dia dipuji karena berhasil membangun negaranya
dengan sukses.
Semua
rakyat mempunyai pekerjaan dengan gaji lumayan. Kualitas pendidikan bagus. Kesejahteraan
rakyat terjaga. Pelayanan publik prima.
“ketika
semua ini sudah saya berikan dengan kerja keras yang tidak mengenal waktu. Apakah
anda-anda masih menuntut saya untuk transparansi? Apakah yang saya lakukan
selama ini tidak cukup transparan? Bila tidak demikian, dari mana pula
datangnya pekerjaan, kesejahteraan yang selama ini anda sekalian rasakan?,”
kata Marcozoc pada sebuah kampanye.
“Anda
tidak perlu pusing memikirkan bagaimana saya mengatur negara dan dengan siapa
saya mengelolanya. Bagi anda yang terpenting terpenuhinya hak-hak anda sebagai
warga negara. Bila sampai detik ini masih ada rakyat saya yang belum terlayani
dengan baik, laporkan kepada saya,” katanya lagi pada debat antar kandidat.
Pamor
Marcozoc melambung luar biasa. Dia menang besar. Suara yang berhasil dia raup
mencapai 98 persen. Semua kalangan mendukung tauke kokain itu.
“Apakah
anda tidak peduli bahwa dia penjahat narkoba?,” tanya seorang wartawan kepada
salah seorang pemilih yang ikut pemilu.
“Apa
peduli saya? Apakah anda bisa memberikan kami jaminan kehidupan seperti yang
disediakan oleh Tuan Presiden?,” tanya pemilih tersebut.
“Kalau
memang dia pengusaha kokain, buktikan dong. Jangan asal cuap,” kata Kepala
Partai meuchokolo kepada sebuah koran terbitan pinggiran kota.
***
Pada
sebuah pertemuan reguler presiden dunia, dua petinggi negara, dari Aceh dan
Indonesia menjumpai Marcozoc.
“Apa
yang membuat anda dicintai oleh rakyat. Padahal, setahu saya, anda seorang yang
tidak bersih-bersih amat,” tanya Presiden Aceh.
“Iya.
Setahu saya demikian. Tapi Tuan Presiden berhasil mengubah mindset penduduk,” timpal Presiden Indonesia.
Marcozoc
tersenyum.
“Jadilah
pencuri yang sopan. Jangan pernah mencuri uang pada sebuah rumah, tapi curilah
emas yang ada di bawah rumah mereka.
Tuan-tuan
harus memahami, dalam mencuri dan merampok juga harus punya seni. Saya menjunjung
tinggi seni itu. Bahwa jangan pernah membuat rakyatmu sadar bahwa mereka sedang
kita tipu.
Sediakan
mereka berbagai fasilitas yang bermutu. Sediakan lapangan kerja dan pangan yang
murah. Jangan potong dana rakyat yang diperuntukkan untuk mereka. Buat mereka
semua sanggup membeli mobil kelas menengah.
Jaga
agar tidak ada diantara mereka yang kaya raya. Namun ciptakan perasaan mereka
seolah-olah telah kaya raya. Hibur mereka. Peraturan yang tidak perlu tidak
usah dibuat,” terang Marcozoc.
“Apa
yang anda kerjakan, sejatinya adalah yang harus kita lakukan. Bila sudah
demikian dari mana pula anda bisa mendapatkan keuntungan?,” tanya Presiden
Aceh.
“Tidak
ada yang gratis di dunia ini, Tuan. Saya pedagang kokain. Saya butuh pasar. Rakyat
saya adalah pasar potensial. Agar kokain saya laku, mereka harus punya
pekerjaan. Buat mereka mabuk semabuk-mabuknya dengan uang yang mereka hasilkan.
Makanya,
pendapatan mereka per bulan harus memadai. Cukup untuk keluarga dan kebutuhan
menghisap narkoba. Sediakan kebutuhan pokok yang murah.
Bila
mereka sudah mabuk dengan uang yang cukup, pasti mereka tidak akan peduli lagi
hasil alam yang kita keruk dan jual sesuka hati kepada cukong-cukong
internasional,” kata Marcozoc.
“Apakah
tidak akan melahirkan perlawanan dari lembaga pendidikan semisal universitas?,”
tanya Presiden Indonesia.
“Tuan,
recokin isi kepala kaum akademis dengan teori ekonomi. Kirim uang yang banyak
kepada kampus, agar mereka sibuk dengan seminar-seminar ekonomi. Tarik ke
lingkaran anda elit-elit kampus yang kritis. Bilapun masih tidak mau diam,
hilangkan mereka dengan cara elegan. Seperti kirim ke luar negeri atau
lenyapkan saya ketika mereka mandi di laut.
Dukung
mahasiswanya untuk asyik berdialog soal gaya hidup. Mereka tidak perlu lagi
susah memikirkan masa depan. Toh lapangan kerja tersedia banyak pasca mereka
lulus. Tidak ada yang tidak terserap,” kata Marcozoc.
“Oh,
demikian ribetnya untuk merampok di negara Tuan,” kata Presiden Indonesia.
Marcozoc
hanya tersenyum. Dia kemudian pamit sambil mengapit piagam penghargaan sebagai
presiden terbaik dunia. []
No comments for "Sang Mafia"
Post a Comment