Politik Atret Ala Aceh
Angka
kemiskinan di Aceh masih berada pada level 18, 05 persen. Bila dijumlah dalam
bentuk angka pasti, berarti jumlah penduduk miskin di propinsi paling ujung
Sumatera adalah sebanyak 881.26 jiwa. (Data BPS maret 2014).
Di
sisi yang lain, di daerah yang menerapkan Syariat Islam tersebut memiliki
banyak pabrik (industri) yang terbengkalai. Sebut saja Pabrik biodiesel di
Beunyot, Juli, Bireuen yang dibangun dengan anggaran Mensos RI Rp 1,5 miliar
ditambah bantuan Otsus 2010 Rp 2,7 miliar, kemudian APBA 2012 Rp 300 juta.
Masih
dalam kabupaten yang sama, pabrik inti keramik Juli, bantuan Pertamina tahun
2003 senilai Rp 1,2 miliar. Mesin press
sabut kelapa bantuan Pertamina tahun 2011 lalu senilai Rp 800 juta belum
difungsikan. Pabrik susu kedelai di Peudada yang dibangun dengan dana APBA
tahun 2006 Rp 6 miliar. Pabrik garam beryodium yang dibangun Aceh Development
Fund (ADF) tahun 2012 di Desa Jangka Alue Bie, Kecamatan Jangka, Bireuen, saat
ini tak difungsikan.
Aceh
Tenggara, Pabrik kakao yang dibangun tahun 2009 bernilai miliaran rupiah tidak
difungsikan sebagaimana peruntukannya. Di abdya Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di
Desa Persiapan Lhok Gayo, Kecamatan Babahrot, bernilai Rp 26 miliar lebih
dibangun dengan sumber dana APBA (Otsus) 2010. Kini sudah jadi hutan muda. Sistem
Penyediaan Air Minum Ibu Kota Kecamatan (SPAM IKK) Babahrot, dibangun
tahun 2012. Dananya lebih dari Rp 4
miliar. Namun, tak berfungsi maksimal.
Di
Aceh Utara pabrik es di TPI Pusong, Kota Lhokseumawe dengan dana Otsus tahun
2009 Rp 3 miliar. Kondisinya saat ini terbengkalai. Asetnya dijarah.
Di
Pidie Balai Benih Ikan (BBI) di Gampong Kupula Padang Tiji, Pidie, kini
terbengkalai. Dibangun secara bertahap sekitar tahun 2002 dengan dana puluhan
miliar rupiah. Luas areal proyek BBI ini mencapai 4 ha. Dinas Kelautan
Perikanan Pidie menyebut ketiadaan air sebagai faktor utama BBI ini tak bisa difungsikan. (Sumber:
Serambi Indonesia http://aceh.tribunnews.com/2015/02/23/daftar-proyek-terbengkalai?page=4)
secara
umum, kita bisa melihat “kelumpuhan” pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh
pemerintah Aceh saat ini. Malah terlihat trend
bahwa yang selama ini yang dianggap sebagai pembukaan lapangan kerja untuk
masyarakat adalah, semakin banyaknya perusahaan perkebunan yang masuk ke Aceh,
dan akhirnya rakyat disekitar kebun menjadi buruh yang kedaulatannya terancam.
Terjebak Janji
Di
sisi yang lain, Pemerintah Aceh saat ini terjebak pada janji politik yang
dikenal dengan 21 janji zikir. Kalimat-kalimat yang sejatinya hanya berupa
hipnotis terhadap pemilih pada pemilu yang lalu, telah membuat rezim
Zaini-Muzakir terjebak pada ketidak mampuan mereka dalam merealisasikan “bualan”
yang melangit tersebut.
Secara
kelembagaan, 21 janji politik Zikir, tentu tidak hanya menjebak mereka berdua
selaku duet “maut”. Tapi juga menyandera Partai Aceh, yang lagi-lagi mereka
berdua pula yang jadi pemimpin elitnya.
Rakyat,
baik yang melek politik maupun gerombolan ikut-ikutan, kini mulai sadar dengan
ketidakmampuan pasangan gubernur dalam merealisasikan janji politiknya. Tentu ini
merupakan jalan terjal yang dikemudian hari akan menghambat laju parpol
pendukungnya.
Menyalahkan Orang Lain
Di
sisi yang lain, Aceh pasca konflik telah mewariskan politik priek baje rakan. Artinya setiap
kesalahan atas kegagalan membangun daerah, selalu ditimpakan kepada teman
sejawat.
Dulu,
menjelang Irwandi lengser, pihak Partai tertentu di Aceh menyalahkan mantan
juru bicara GAM tersebut sebagai biang keladinya. Bahkan kata-kata yang
menyakitkan keluar bahwa dokter hewan tidak bisa menyejahterakan manusia.
Saat
ini kondisi kembali berulang. Zaini Abdullah yang digadang-gadang sebagai
dokter manusia yang akan menyembuhkan rakyat Aceh, kini menjadi tertuduh
sebagai biang kegagalan pembangunan.
Dia
disebut sangat anti kritik, tidak memberikan peluang kepada Muzakir Manaf serta
sangat Pidie sekali. Rezim yang dibangun juga klan Pidie.
Dalam
analisa saya, politik priek baje rakan
merupakan salah satu upaya pencitraan, agar masyarakat melihat orang lain
sebagai yang bersalah dan yang lainnya sebagai pahlawan yang tersandera.
Tidak Punya Konsep Pembangunan
Perilaku
menyalahkan teman sejawat, merupakan gejala tidak adanya konsep pembangunan
yang matang. Para politisi tidak berani menyampaikan gagasan yang intelektual. Ini
bukan faktor tidak adanya tim hebat disekeliling mereka, tapi lebih kepada
ketidakmampuan mereka sendiri dalam memahami konsep tersebut.
Untuk
menutupi kelemahan itu, mereka butuh jargon kosong serta butuh pelipur lara
ketika berhadapan dengan publik. Akan tetapi banyak sekali jargon yang sudah
keluarkan pada pemilu yang lalu.
Melihat
kondisi ini, Aceh pasca 2017 akan sulit berkembang, bila tidak adanya
pergantian kepemimpinan. Sebab apa yang dilakukan oleh politisi yang punya kuku
saat ini adalah politik atret (mundur). Hanya bisa menyalahkan orang lain,
tanpa punya gagasan yang mumpuni. []
No comments for "Politik Atret Ala Aceh"
Post a Comment