Negeri Chung

Anda pernah ke Negara India? Apakah anda berhasil menemukan sesuatu hal istimewa seperti yang ditayangkan di berbagai sinema produksi Bollywood?
Dari cerita para backpacker yang mengunjungi berbagai pelosok Hindustan, ternyata pemandangan indah yang kita tonton di film-film yang dimainkan oleh Aamir Khan, Shah Rukh Khan dan bintang lainnya, hanyalah tipuan belaka. Bahkan Mumbay sebagai salah satu kota terbesar di Negara sejuta kuil itu, tidaklah seindah bayangan di berbagai scene sinema yang mereka produksi.

Salah satu persoalan mendasar di Negara asal Amitabachan itu adalah bertebarnya para pembohong dan perilaku kencing yang dilakukan di manapun.

Soal ketidak jujuran di negeri itu sudah menghinggapi kelas masyarakat kecil di sana. Maka jangan heran bila anda-sebagai pelancong- akan ditipu oleh penarik becak, penyedia penginapan murah, penjual makanan dan cinderamata serta para pengemis yang rela menyembah kaki anda hanya untuk mendapatkan sedikit uang receh.

Membahas soal tingkat kejujuran di India, sama daruratnya dengan kondisi air seni-sebuah istilah salah kaprah menurut saya- yang bisa dibuang di mana saja oleh pemilik alat kelamin. Bahkan toilet yang disediakan, menjadi kurang berfungsi, karena masyarakatnya lebih suka “menembak tembok” bagian luar toilet, daripada masuk dan membuang hajat kecilnya di dalam lubang yang seharusnya.

Nyaris, tidak ada tembok yang bisa selamat dari siraman kencing manusia India. Orang-orang yang memiliki tembok, tidak jarang harus melukis gambar dewa di tembok mereka, agar tidak dikencingi. Walau demikian, bukan bermakna sang pemilik tembok tidak akan mengencingi tembok orang lain, bila tidak bergambar dewa. Tidak ada garansi kesadaran, walau mereka mengetahui bahwa bau pesing sangat mengganggu indera penciuman, juga merusak kesehatan.

Sebagai Negara yang memiliki penduduk yang luar biasa liarnya ketika kencing, Pemerintah India sudah mencoba melakukan pemberantasan dalam bentuk hukuman langsung di lapangan. Misalnya, Pemerintah di sana sudah menyediakan mobil tangki yang bertugas keliling kota untuk menyiram siapa saja yang kencing sembarangan. Polisi pun disiagakan di berbagai sudut kota, untuk menangkap manusia penebar chung (pesing-pen) di mana-mana. Namun sejauh ini, usaha itu gagal. India tetap meube chung (berbau pesing-pen).

Lupakan tentang banyaknya penipu di jalanan India, juga jangan ingat lagi tentang perilaku tidak terpuji penduduk India yang suka kencing di mana-mana. Karena itu urusan mereka yang tak bisa kita jangkau.

Aceh 2015 serta awal 2016, merupakan sebuah daerah yang juga memiliki perilaku menyimpang dari berbagai stakeholder. Dalam amatan penulis ada dua masalah besar di daerah ini yang cukup menganggu serta merusak nilai-nilai kebenaran yang sebenarnya.

Pertama tentu pelaksanaan Syariat Islam. Ya, isu Syariat Islam yang kini sudah dibungkus dalam berbagai Qanun Aceh dan qanun kabupaten/kota, hanyalah berupa mainan para penguasa untuk membuat lalai rakyat kecil untuk saling menghujat sesamanya. Kenapa demikian? Toh selama ini yang mendapatkan “azab” dari penerapan SI di Aceh hanyalah mereka yang berasal dari kelompok kecil alias bukan siapa-siapa. Hanyalah mereka yang tidak punya afiliasi dengan penguasalah yang selalu merasakan pedihnya cambuk algojo di depan umum. Selebihnya, mereka yang gemar melanggar SI, namun punya hubungan serius dengan lingkar kekuasaan, dipastikan tidak akan berani dipermalukan di depan umum. Konon lagi akan dicambuk sebagai pesakitan, jangan ngimpi! –meminjam istilah jin di sebuah iklan rokok produksi Pulau Jawa.

Kedua tentu kinerja Pemerintah Aceh dan sebagian besar kabupaten/kota yang gagal bekerja sesuai amanah undang-undang. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin Aceh pada posisi Maret 2015 mencapai 851.000 orang atau bertambah 14.000 orang dibanding posisi September 2014.

Penduduk miskin di provinsi ini pada Maret 2015 mencapai 851.586 orang dengan sebaran 157.000 orang berada di perkotaan dan 694.000 orang di perdesaan. “Jumlah penduduk miskin di Aceh naik dari 16,98 persen ke 17,08 persen dari populasi penduduk Aceh saat ini (Serambi Indonesia: http://aceh.tribunnews.com/2015/09/16/warga-miskin-di-aceh-bertambah)

Jumlah penduduk usia produktif di Aceh yang menganggur berjumlah 216.806 jiwa. Jumlah ini dihitung terakhir kali pada Agustus 2015. Demikian data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh dalam indikator tenaga Kerja Provinsi Aceh Agustus 2015.

Bila merujuk pada data pada Agustus 2014, jumlah pengangguran di Aceh medio Agustus 2015 meningkat 25 ribu jiwa.

Angka tersebut di atas merupakan jumlah total angkatan kerja Aceh yang berjumlah 2.182. 824. Usia yang masuk kategori ini adalah 15 tahun ke atas. (Jambo Muhajir: http://jambomuhajir.blogspot.co.id/2016/01/216-806-penduduk-usia-produktif-di-aceh.html)

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh merilis hasil monitoring media dan laporan pihaknya terkait dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi selama 2015. Menurut lembaga tersebut, terdapat 27 kasus dugaan korupsi, dengan nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 885,8 miliar. Meningkat dibanding tahun 2014 lalu yang sekitar Rp 500 miliar. (http://aceh.tribunnews.com/2016/01/04/korupsi-di-aceh-rugikan-negara-rp-885-miliar).

Di sisi lain, Pemerintah Aceh gemar berbohong melalui berbagai pariwara di media massa yang mengatakan bahwa pembangunan di Aceh berjalan sukses serta sesuai dengan harapan seluruh anak bangsa. Bahkan baru-baru ini Pemerintah dicitrakan seolah-olah jengah dengan fakta bahwa para Kepala-kepala di berbagai kantor di Aceh gemar menerima tenaga kontrak melalui bawah meja.

Apa yang saya sampaikan di atas, tentu akan mendapatkan perlawanan-bantahan- dari mereka yang selama ini terlibat aktif merengguk uang Aceh untuk kepentingan pribadi. Juga akan dilawan oleh mereka yang sedang merusaha diikutkan dalam rencana besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan rompak anggaran rakyat untuk tahun 2016.

Namun apa peduli saya? Toh mulut-mulut mereka sudah kental meube chung, seperti bau mulutnya para penguasa. Melalui mulut-mulut bakhil tersebut, seolah-olah perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme adalah sesuatu yang dibenarkan oleh Islam. Maka tidak heran, bila orang Aceh saat ini kerapkali berkata: Di Aceh, jangankan yang halal, yang haram pun sulit di dapat. Miseu tapateh haba kitab, u tupe kap hana meutume rasa (Kalau patuh pada ajaran, kelapa yang digigit tupai pun tidak akan bisa dimakan-pen) Wallahuaklam. []




Penulis bisa dihubungi via email:muhajirjuli@gmail.com.

1 comment for "Negeri Chung"

  1. Salut... Memang beutoi lage neupeugah nyan bang hai..hana bantah dari lon...
    Saleum aneuk nanggroe...

    ReplyDelete

Post a Comment