Teupin Mane


1925, Teupin Mane adalah sebuah bivak yang dibangun oleh Belanda. Tempat para pasukan penjajah itu beristirahat, melamun tentang cinta nun jauh di negeri Eropa, juga rumah di mana mereka menyusun strategi untuk menyerang sambil berkali-kali menikmati jernihnya air Krueng Peusangan yang membelah antara tunong dan baroh.

Aku tidak mampu mengingat apa-apa tentang cerita tahun 1985, saat ibunda tercinta Cut Rusna binti Teuku Luthan melahirkanku ke dunia. Karena saat itu otakku belum diberikan kemampuan untuk merekam apapun, selain hanya mengenal puting susu sebagai sumber kehidupan.

Tahun tersebut adalah permulaan, aku melihat--tanpa mampu merekam apapun selain senyum ibu dan wajah ayah—sebuah peradaban seonggok nyawa dimulai.

Teupin Mane adalah catatan. Demikian yang dipahami oleh seorang serdadu inlander yang didik di tanah Jawa yang kemudian dikirim ke Aceh dengan nama marsose Colone Macan. Belanda berdada hitam, demikian sebagian kita menyebut mereka. Sebagai babi keling yang berwajah pribumi seberang pulau namun berstatus penjajah dari seberang benua. Dia yang berperang dengan imbalan uang dan pujia-pujian palsu Ratu Wilhelmina. Dia yang berharap ekonominya lebih bagus dan derajatnya meningkat setelah mengabdi sebagai jongos Belanda yang tidak pernah tahu berterima kasih.

Kampung ini juga sebagai basis kenangan bagi serdadu kafir belanda dan kemudian Jepang. Karena oleh amuk perang dan rakusnya para pembesar di tanah mereka, ribuan cinta harus berpisah. Ribuan yatim harus menangis. Serta puluhan--mungkin ratusan—anak jadah lahir dari perkelaminan yang dipaksakan—tentu hanya sebelah pihak yang nikmat dan lainnya kiamat--.

Tahun 1965, ketika ratusan orang yang dituduh komunis, berbaris rapi di pinggir liang besar. Satu persatu ditetak lehernya oleh algojo yang seminggu sebelumnya dilepaskan dari penjara, yang kemudian diberikan tugas untuk mengakhiri ribuan harapan atas penghidupan. Tidak sedikit yang kemudian harus menjemput maut, hanya karena namanya tertera di absen penerima cangkul dan sekarung beras.

Di sini, di tanah ini, di tempat aku dilahirkan, pasirnya telah puluhan—bahkan ratusan tahun—merekam kafilah sejarah yang terus lewat dengan berbagai diorama. Tangis, kebencian, fitnah, tatapan tak berdaya, kemunafikan, lupa, ingat, lupa lagi.

Bila saja Krueng Peusangan diberikan amanah menyalin kisah, mungkin aku tidak akan kelimpungan merekam jejak cinta, benci, hasut, jadah, air mata, senyum di atas tanah yang kemudian aku ditabalkan sebagai manusia.

Ah! Pohon-pohon besar yang dulunya menjadi pelindung sungai dari ancaman, kini telah hilang ditelan masa. Ketika satu persatu pohon itu hilang, maka kisah-kisah lampau juga turut terbang.

Dari sisa-sisa itu, hanya bekas botol minuman, sisa pingan bate dan dua bungker tempur yang tersisa di tanah yang kini telah hilang bukti artefaknya.

Teupin Mane adalah tanah sejarah. Dia selalu terlibat dalam berbagai fase yang dilewati bangsa ini. Belanda, Jepun, Komunis, Darul Islam, Aceh Merdeka, serdadu Republik  pernah hilir mudik di tanah ini pada masa mereka masing-masing.

Tak ada yang mampu mengingat dengan sempurna. Minda terputus-putus. Karena kehidupan terlalu sulit untuk menyisakan ingatan tentang sesuatu. Bahkan aku meyakini, nayris semua penghuninya bahkan lupa, kapan mereka menemukan tambatan hati dan kemudian memutuskan untuk menikah dan beranak pinak. Konon lagi mengenang sejarah gejolak yang menelan kehidupan. Kematian begitu mengerikan. Namun mengingatnya akan membuat kehidupan sedikit melambat. Padahal dalam kondisi cepat pun mereka kalah. Terkadang pula dipaksa kalah oleh bangsa sendiri.

Seseorang pernah bertanya mengapa aku –sudah semacam orang gila—untuk terus merawat ingatan atas tanah itu. Bukankah beberapa kali pula aku tertolak di sana, hanya karena anti mainstream. Bukankah melupakan dan kemudian meninggalkan adalah jalan terbaik?

Ah! Orang ini tidak mengetahui makna cinta yang sebenarnya. Betapa aku berterima kasih kepada kampung itu. Karena di sanalah aku memulai peradaban. Walau dulu acapkali tertolak, itu bukanlah price yang bisa kujadikan alasan untuk segera pergi dan melupakan.

Ini bukan tentang manusianya. Tapi kenangan tentang tanah di mana jasad ayahku dikuburkan dengan iringan doa keselamatan. Ini tentang kenangan bahwa di tanah ini, pada malam tanggal 26 februari 1985, seorang perempuan berjuang hidup mati untuk melahirkan seorang anak lelaki yang ketika SD mulai melakukan protes terhadap hal-hal yang menganggunya. Ini tentang tanah yang penuh pengorbanan. Tentang cerita pengorbanan kakak dan adik yang saling mendukung, hingga beberapa di antaranya harus mogok sekolah dan yang lain melanjutkan perjuangan. Ini tentang sebuah peradaban. []

Banda Aceh, 2 April 2016.





2 comments for "Teupin Mane"

  1. Kenangan adalah perjalanan wisata paling murah di dunia.

    ReplyDelete
  2. Kenangan adalah mimpi terindah..
    Kenangan adalah guru pAling jenius...
    Kenangan adalah nafas yang merangkai langkah...
    Dan kenangAn adalah juga yang menjadi samurai yang membelah masa...
    SalEum aneuk nanggroe...

    ReplyDelete

Post a Comment