Rokok Adalah Koentji

"Semoga bulan depan belanja kebutuahn pokok tetap stabil dan semoga saja, harga akan mempengaruhi minat," harap seorang ibu rumah tangga, di pasar pagi Matangglumpangdua, Bireuen.


"Harga satu bungkus Rp. 50.000 akan mengurangi "kedermawanan" teman semeja. Juga akan banyak yang tidak merokok," ujar perempuan berusia kisaran 35 tahun.

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga rokok, mendapat perhatian serius bagi rakyat dari berbagai kelas. Khususnya kelas bawah. Banyak kaum ibu yang turut membicarakan tentang ramalan bulan September 2016, ketika rokok resmi naik harga.

"Semoga naiknya harga rokok, tidak menjadi petaka bagi keluarga saya. Soalnya ayah di A pecandu berat. Kalau tidak ada rokok, ia akan tidak bersemangat. Padahal pendapatannya sehari-hari setara dengan harga dua bungkus rokok di Bulan September depan," ujar Kak Jamilah (sebut saja namanya demikian) kepada temaannya pada sebuah pesta perkawinan.

Dari banyak percakapan terkait ini, ada beberapa harapan yang disampaikan. Pertama, bahwa semoga bulan September ini, tidak ada prahara berarti di tiap rumah tangga yang lelakinya merupakan ahli hisap. Kedua, semoga para suami dan lelaki berhenti merokok, karena costnya sudah terlalu tinggi. Ketiga, semoga dengan naiknya harga rokok, tidak turut disertai dengan merangkak naik harga bensin, sayur-mayur, harga kunyit, ongkos RBT, harga martabak.

Namun pada harapan yang ketiga itu, Suryani, punya feeling buruk. Ibu rumah tangga ini punya kecenderungan percaya, bahwa naiknya harga rokok, ikut berdampak pada naiknya harga barang dan jasa lainnya. Kenapa? Karena rokok adalah kunci.

"Rokok adalah  koentji! Kebutuhan utama yang tidak pernah diakui oleh pakar gizi, bahkan dicaci maki di dalam konsep empat sehat lima sempurna," ujar pakar hitung kebutuhan logistik dapur tersebut.

Jokowi sedang bermain api. Itu kesimpulan saya. Ibarat makan buah si malakama. Tak dimakan mati ayah, dimakan mati ibu. Mungkin Jokowi memilih yang kedua. Mati "ibu". Kenapa? Rokok adalah sebuah industri yang besar. Bicara rokok bukan sekedar membincangkan tentang konsumen yang menderita sakit paru-paru, lemah syahwat dan mani encer. Tapi juga bicara tentang penghidupan petani tembakau, buruh pabrik, pedagang rokok, dan tentu juga cukong tembakau dan pajak negara.

Mungkin bagi para anti tembakau, melihat rokok adalah sebuah dunia kecil yang selalu bicara tentang kesehatan paru-paru dan polusi. Walau polusi yang sesungguhnya telah lama diciptakan oleh industri besar non rokok. Tapi sesungguhnya, bicara tentang rokok, sejatinya membicarakan sebuah dunia yang "diam-diam" telah menopang lebih separuh tiang negara ini. Ia adalah sumber ekonomi bangsa. Sumber pengharapan rakyat dan tentunya sumber inspirasi dunia. Rokok adalah filosofi.

Bullsyit bila ada yang mengatakan bahwa rokok merupakan pintu narkoba. Banyak yang bukan perokok yang menjadi pengguna obat-obatan terlarang. Bila dilihat secara persentase iya bahwa banyak perokok yang mengunakan narkoba. Karena apa? Karena jumlah perokok memang sangat banyak. Bayangkan bila rokok menjadi pintu. Akan ada lebih dari setengah penduduk Indonesia yang menggunakan narkoba. Nyatanya tidak, bukan?

Menyalahkan rokok sebagai pintu masuk narkoba, sama halnya menyalahkan Islam di Indonesia sebagai agama para koruptor. Kenapa karena di Indonesia jumlah Umat Islam mayoritas. Ya iyalah para pejabat beragama muslim lebih banyak yang jadi koruptor. Coba kalau di Mexico dan USA. Atan Papua News Guinea?

Seorang teman pernah berkata: "Rokok bukan sekedar tentang nikotin dan asap knalpot. Rokok adalah tentang sebuah peradaban. Untuk itulah rokok disebut sebagai kunci,". []




No comments for "Rokok Adalah Koentji"