Untuk yang Bertulang Kemaluan

Dalam berbagai ruang, mereka yang merasa di atas angin, seringkali mencoba menguasai orang lain, dengan berbagai cara. Mulai dengan berteman, sampai dengan membuat jurang permusuhan--dengan menampilkan taring kekuasaan--, serta banyak pula yang bermain di garis abu-abu. Berteman tidak, bermusuhan juga tidak, tapi selalu mencoba mendikte suara yang dianggap berlawanan.


Penguasaan yang bersinonim "Jangan lakukan yang tidak kusenangi" merupakan sebuah teror. Penyampaian teror semacam ini juga beraneka ragam. Mulai dengan penggunaan kalimat kias "Bukan tidak setuju, tapi kurang nyaman bagi saya", Kalimat meminta (Sebenarnya memerintah) "Tolong, jangan terlalu cepat diprotes. Kita bicarakan dulu. Kan di antara kekurangan, kami juga memiliki kelebihan". Sampai kalimat menghardik "Saya akan menuntut saudara. Apa yang saudara sampaikan akan saya persoalkan. Jangan main-main dengan kami".

Banyak yang tenggelam dan kemudian takut menjadi pilihan sikap. Oleh mereka yang punya rasa takut berlebih, tetapi punya juga ilmu komunikasi yang wahid akan berkata "Sudahlah, biar saja kita yang mengalah. Mereka kan bukan level kita".

Berhadapan dengan kekuasaan tiran. Kelompok kuat yang berperilaku layaknya serigala, kutipan terkahir tersebut bukan pilihan. Bila pun menjadi pilihan, itu bukan sikap final. hanya sebuah kesimpulan sementara.

Saya acapkali menerima, teguran, ancaman bahkan tantangan. Baik dari kelompok sipil sampai militer. Rasa takut tentu ada. Itu manusiawi. Tapi saya tidak memilih diam dan mundur.

Kita--saya dan anda-- tentu harus bertanya. Kenapa teriakan kita tidak disukai? Kita kemudian juga harus bertanya, Mengapa teriakan kami tidak kalian senangi? Apakah ketika ketimpangan terjadi, kami tidak boleh protes? Apakah ketika sebuah kezaliman terjadi, kami harus diam saja?

Pendahulu kita sudah pernah memilih diam. Lalu apa yang terjadi? Kita kehilangan perkampungan di mana indatu kami dikubur. Kita sudah kehilangan orang-orang tercinta, hanya karena tidak berani melawan, ketika para keparat merebut mereka dari pelukan kita.

Kita diam, saat perempuan kita dizinahi di depan umum. Saat ibu kita dilecehkan di depan khalayak. Ketika kita tidak dianggap sebagai lelaki berpenis, masa di mana kita dianggap hanya binatang ternak. Ketika harkat dan martabat bangsa ini, keluarga ini, keturunan ini, dilecehkan pada level paling rendah.

Diam yang demikian melahirkan apa? Derita! Kecewa! Perasaan tak berguna! Kita bukan lelaki yang berpenis! Kita hanyalah hewan ternah. Kita tidak pernah dianggap ada.

Mereka, para bajingan tengik itu, menganggap kita sampah. Mereka kapan saja, bisa memperlakukan kita sekehendak hati. Hak kita dirampas. Kita diminta melakukan yang bukan kewajiban. Bahkan untuk tidur pun kita harus minta izin.

Kita belum merdeka! Selama masih mampu dikelola oleh mereka yang mempermainkan rasa takut, kita masih seekor keledai. Kita belum maujud sebagai manusia. Kita masih berjiwa budak yang berketurunan.

Kita belum merdeka, saat belum bisa mengerti, bahwa para bajingan itu juga manusia biasa. Mereka cuma berani keroyokan. Mereka cuma berani menembak dalam gelap. Mereka hanya berani mencincang kita di daerah sepi. Mereka hanya berani mengeroyok kita. Mereka berani karena punya senjata. Mereka sesungguhnya tidak bertulang penis. Pengecut dan picik.

Mau merdeka? Mari bangkit dan melawan. Mari kita tunjukkan bahwa kita masih punya tulang kemaluan. Bahwa kita dilahirkan sebagai lelaki oleh seorang ibu. Bahwa kita adalah manusia pilihan yang dianugerahi aka, pikiran dan nafsu. Bahwa kita adalah lelaki Aceh, lelaki Islam, yang tahu menjaga marwah dan paham untuk melindungi orang lain.

Mau merdeka? Lawan!.

No comments for "Untuk yang Bertulang Kemaluan"