Aceh Pungo bin Putoh Kawat

Tatkala menulis tentang ini, saya sudah benar-benar lupa dengan isi tulisan di dalam buku Aceh Pungo yang ditulis oleh senior saya Taufik Al Mubarak. Bahkan saya tidak bisa ingat lagi, apa saja yang dikemukakan secara detail dalam buku yang sejatinya berupa bunga rampai--pernik pikiran dan gagasan Taufik dari waktu ke waktu--. Ada  satu hal yang membekas di ingatan saya--semoga saja ini tidak salah-- bahwa Taufik sedang menggugat apapun yang di matanya tidak ideal.

Banyak pembaca yang menduga, Putoh Kawat--sebuah bunga rampai-- yang saya tulis dan diterbitkan oleh sebuah penerbit di Banda Aceh, merupakan sebuah buku yang membahas tentang pungo dalam arti yang sebenarnya. sehingga fenomena hoax penculikan anak di Aceh, dan tersangkanya adalah orang gila, dianggap punya sangkut paut dengan Putoh Kawat yang saya tulis. andaikan mereka mau sedikit bersabar memelototi cover buku, akan terjawab bahwa saya tidak menulis tentang gila dalam termonologi Rumah Sakit Jiwa (RSJ). konon lagi versi Mahkamah Agung.

saya terkejut saat membaca sebuah harian lokal yang menaikkan laporan tentang angka orang yang terganggu jiwanya di Aceh. Tidak tanggung-tanggung, warga Aceh yang mengalami gangguan jiwa mencapai angka 22.033 jiwa. Sebuah angka yang sangat fantastis, walau saya meyakini, jumlah itu masih belum menjawab hitungan yang sebenarnya. Bisa jadi, jumlah pengidap gangguan jiwa di Aceh lebih besar dari itu.

Membicarakan tentang Aceh, tentu seperti membahas arwah kuntilanak di pekuburan tua di kampung yang sudah kosong. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Karena setiap catatan selalu --bisa dipastikan-- akan melahirkan dua arus utama, pendukung dan pembenci. Pendukung tulisan pun, tidaklah berupa supporter serupa holligans yang patriotik itu. hanya sekedar ibarat penikmat sinema semata. Mendukung bila gagasan yang saya sampaikan sesuai dengan isi kepala mereka. dan merekapun akan segera berkumpul sebagai haters bila tulisan yang saya tulis tidak sesuai dengan apa yang mereka pikirkan. Saya kira, para opinier lainnya juga merasakan hal yang sama.

kembali ke angka pengidap gangguan jiwa tadi yang jumlahnya sangat seksi bila digarap untuk kepentingan Pileg 2019. Angka tersebut sangat besar, dan tentu saja lebih mudah untuk dikoordinir. Bersebab, ureung pungo biasanya tidak banyak permintaan. Cukup penuhi satu saja hajatnya--karena ureung pungo tak punya hajat yang banyak-- maka bereslah segala urusan.

Tuing! Kok saya membahas pileg, ya? Lupakan itu. Mari fokus kepada pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Aceh, dr. Hanif. Ia --mengutip keterangannya di salah satu media cetak lokal-- mengatakan setidaknya ada tiga penyebab banyaknya warga Aceh yang mengalami masalah kejiwaan di Aceh. pertama, Aceh sebagai daerah bekas konflik puluhan tahun mewariskan dampak sosial yang luas. kedua dan ketiga adalah tsunami dan napza.

Hal menarik tentu seperti yang diutarakan oleh Rustam Effendi yang merupakan pengamat ekonomi dari Universitas Syiah Kuala. akademisi tersebut mengatakan Aceh sudah terlalu banyak masalah. Namun kepala daerah bukan mencari solusi masalah yang dihadapi warganya. Melainkan menambah masalah baru, membuat gaduh, dan melakukan hal-hal yang tidak perlu.

****
Saya tentu gembira dengan apa yang disampaikan oleh Rustam Effendi. Bahkan saya sangat mendukung apa yang ia sampaikan. Sejauh ini memang kepala daerah di Aceh, seperti RSJ yang membutuhkan kepala rumah sakitnya dengan kompetisi yang sesuai, namun yang dikirim ke sana adalah dokter spesialis organ dalam lembu. Tentu tak matching.

Saya tidak mau menggugat hasil pemilu di Aceh. Selain tak punya kapasitas, juga mustahil. Wajarkan bila pemimpin yang terpilih begitu-begitu saja? Toh pemilihnya banyak yang kurang pas kejiwaannya. Maka tidak heran bila pemilu hanya sekedar ajang untuk memenuhi kewajiban berdemokrasi. Kalau orang Aceh waras bilang: Bek hana sagai. Kiban nyang jeut, jeut laju. 

Jadi dengan demikian tidak aneh bila di Aceh ini, meneriakkan kebenaran seperti kencing dalam hujan deras. Tak berasa dan tak pula berbekas. Bahkan upaya-upaya penegakan kebenaran, suara menuntut keadilan, selalu ditanggapi sinis, baik oleh rakyat jelata kelas menderita, oleh sebagian jurnalis, oleh sebagian cendekia agama, oleh sebagian akademisi, oleh sebagian politisi dan oleh sebagian penegak hukum. Sayangnya sejauh ini belum ada research tentang elemen mana saja yang mengidap gangguan jiwa. Hanya rakyat kecil dan miskian semata? Atau juga semua kalangan?

Oh Aceh Pungo bin Putoh Kawat. Ka ulon tupat dipat punca gata. []

Sumber foto: http://lamtoro-lamtoro.blogspot.co.id





No comments for "Aceh Pungo bin Putoh Kawat"