Mengembalikan Kehormatan GAM

Gerakan Aceh Merdeka yang awalnya dikenal sebagai Aceh Merdeka (AM)yang oleh Pemerintah Orde Baru pernah dituduh sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) bukanlah gerombolan teroris. Bukan pula kelompok rebel yang punya tujuan jangka pendek. GAM adalah gerakan politik yang dibangun oleh Tengku Hasan Muhammad di Tiro, dengan tujuan mengembalikan Atjeh sebagai sebuah negara berdaulat. Bukan sekedar propinsi dari negara yang lahir pada 17 Agustus 1945.

 GAM atau dalam Bahasa Inggris disebut ASNLF, adalah gerakan politik penyadaran, agar Bangsa Aceh kembali menemukan jati diri bahwa ianya adalah identitas besar yang pernah memiliki peradaban yang gilang gemilang di masa lalu. Dalam konteks ini, almarhum Hasan di Tiro berhasil membangun sebuah gerakan perlawanan yang besar. Maka tidak heran, sejumlah putra Aceh yang memiliki reputasi baik dan berpendidikan tinggi tertarik untuk bergabung. Bahkan diam-diam sejumlah tokoh Darul Islam yang kemudian menjelma menjadi Republik Islam Aceh pun memberi dukungan.

Menarik ketika menemukan fakta bahwa Nur Djuli–seorang perantau Aceh yang terpelajar dan bekerja di kedutaan Prancis di Malaysia– diam-diam terjun mendukung GAM. Bahkan ia kemudian tenggelam dalam kerja-kerja politik memerdekakan Aceh, tentu dengan mengorbankan kehidupannya yang nyaman sebagai ekspatriat di luar negeri.

Terlibatnya kaum terpelajar dalam gerakan perlawanan tersebut, membuktikan bahwa Hasan di Tiro berhasil membangun citra AM sebagai sebuah organisasi perlawanan yang berintegritas, bermarwah dan menjanjikan. Apalagi, sebagai ideolog GAM, Hasan Tiro mampu mengutarakan gagasan, pandangan dan cita-citanya dalam bentuk tulisan. Tentu ini sesuatu yang sangat luar biasa. Hasan mampu menjadi trigger sekaligus konseptor ulung, yang sangat jarang ditemukan. Dengan kepiawaiannya itu, ia pun mampu memainkan isu kemerdekaan Aceh di dunia internasional.
Tidak heran bila pasca reformasi Indonesia 1998, AM menjelma sebagai organisasi perlawanan yang mendapatkan dukungan luas, nyaris 80% rakyat Aceh. GAM bertumbuh di kampung-kampung. Pemuda Aceh bergabung dengan GAM baik sebagai kombatan, maupun pada peran lainnya. Intelektual pun banyak yang kemudian diam-diam mendukung.

Semua propaganda yang dibuat oleh GAM dipercaya begitu saja oleh rakyat. Termasuk tatkala beredar info bila GAM telah memiliki alutsita perang seperti pesawat tempur dan tank. “Sibak rukok teuk ka merdeka” pun menjadi mantra yang paling ajaib kala itu.
***
Semua orang tahu, walau telah berusaha segenap tenaga, perlawanan GAM harus diakhiri. Tuhan langsung mengintervensi konflik RI-GAM dengan mengirim musibah tsunami pada 26 Desember 2004. Mau tak mau kedua belah pihak harus bersepakat untuk berdamai. Semua itu kemudian dicapai dan ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Crisis Management Initiative (CMI) yang didukung oleh Pemerintah Finlandia, sukses mendamaikan kedua belah pihak.

Gegap gempita perdamaian dan rekontruksi Aceh membahana. Segenap rakyat Aceh menaruh harapan pada GAM. Maka tidak heran pada Pilkada langsung 2006, calon yang diusung oleh Komite Peralihan Aceh (KPA) menang di berbagai kabupaten. Sejak itu, hingga pileg 2014, dukungan rakyat mengalir ke Partai Aceh (PA) yang dianggap sebagai perwujudan GAM.

Sayang, tatkala berhimpun kembali di bawah NKRI, ada perilaku yang tidak elok. Para eks kombatan GAM seperti lupa diri. Mereka–melalui berbagai organisasinya– mulai menjadi preman yang sering mengabaikan adab. Mereka seolah kehilangan kendali. Hal ini membuat rakyat jengah. GAM pun terbelah. Hasilnya, rakyat Aceh mayoritas memilih Irwandi Yusuf pada pilkada Aceh 2017. Padahal sebelumnya banyak yang mengira Muzakkir Manaf yang merupakan Wakil Gubernur Aceh sekaligus Ketua Umum KPA/PA Pusat, akan menang mudah.

Kini, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari entitas GAM, Irwandi Yusuf punya peran sangat penting. Ia punya tanggung jawab untuk mempersatukan kembali anggota GAM yang sudah terpecah belah. Ia harus membawa kembali para senior GAM untuk duduk dalam satu majelis.

Bersatunya kembali GAM merupakan agenda penting. Tapi bukan untuk kembali memalak anggaran rakyat dan bukan pula untuk kembali berperang. Tapi demi lahirnya kembali marwah GAM di mata para pihak. Masih banyak agenda nasional keacehan yang masih harus diperjuangkan. Untuk itu GAM membutuhkan Husaini Hasan, Nur Djuli, Zakaria Saman, Malik Mahmud, Nurdin Abdul Rahman, Teungku Nasruddin Ahmad, Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah, juga anak muda di tubuh GAM seperti Sofyan Daud, Munawar Liza, Muzakkir Manaf, dll.

Saya menilai, membangun kepentingan Aceh jauh lebih penting daripada sekedar politik kekuasaan lima tahunan. Pada akhirnya, semua beban ini harus disangkutkan ke bahu Irwandi Yusuf yang kembali dipercaya oleh rakyat sebagai Gubernur Aceh. Pada akhirnya saya punya harapan, kelak ketika saya tua nanti –bila Allah berkehendak– saya bisa bercerita dengan bangga tentang GAM, MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Mampukah juru propaganda GAM itu? Pantas kita tunggu. []

Tulisan ini sudah tayang di aceHTrend, pada rubrik Jambo (Kolom Muhajir Juli).
Foto: Dikutip dari irwandigeutanyoe.blogspot.co.id. Namun sudah tidak terlacak pemilik aslinya. 

No comments for "Mengembalikan Kehormatan GAM"