Bayi dan Anak Anjing

Menikah adalah gerbang untuk menuju ke altar kehidupan yang lebih serius. Sudah menjadi hukum alam, faktor kepuasaan senggama hanyalah bagian dari kegiatan menuju tujuan akhir berkeluarga yaitu memperoleh anak, yang kelak akan menjadi pelanjut garis keturunan.

Untuk itu, sepasang anak manusia yang telah terikat pernikahan, akan melakukan berbagai persiapan untuk menyambut kehadiran si buah hati. Mereka tak peduli apakah anaknya kelak laki-laki maupun perempuan, yang penting mereka mendapatkan momongan. Segala perencanaan sudah diatur sedemikian tapi, termasuk planning nama dan --untuk era milenial-- mempersiapkan tanggal kelahiran yang istimewa.

Begitu seorang bayi lahir, dibuatlah segala penyambutan. Sang bayi pun dikecup kemana kemari. Banyak perempuan yang membelai sang bayi. Banyak lelaki yang akan mencandai sang bayi. Namun seiring perjalanan waktu, pelan-pelan bayi itupun menjalani hidupnya mengikuti alam. Ia pun dilupakan seiring perjalanan waktu.

Orang tua yang sebelumnya sangat mengidamkan kehadirannya, kini sibuk dengan rutinitas lainnya. Bahkan kerapkali, masa depan sang bayi pun dilupakan. Ia seakan-akan hanya diharapkan untuk sekedar lahir, selebihnya akan menjadi beban.

Seorang teman bule saya pernah berkata " Pada akhirnya seekor anak anjing lebih mulia kedudukannya, ketimbang anak manusia yang bertumbuh dalam sebuah keluarga. "

***
Saya melihat fenomena tersebut dalam bingkai yang lebih luas, yaitu dalam bidang politik election. Rakyat --pemilik suara-- yang mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan, akan dipuja-puja sebagai pemilik mandat yang sangat dihormati, kala masa kampanye sedang berlangsung. Suara rakyat diibaratkan sebagai suara Tuhan.

Para penghamba kekuasaan, akan menjumpai di mana saja rakyat berada. Orang-orang miskin, lansia dan anak yatim akan dipeluk, dicium, diberikan bantuan--sembari dipotret-- dan masuk media pencitraan.

Namun ketika semua tahapan pemilu selesai, yang kalah harus mengobati luka hati dan modal, yang menang pun menyusun strategi balik modal dan menata kekuasaan.

Tentang kesejahteraan rakyat? Ah, itu kan hanya retorika saat pilkada saja. Selebihnya rakyat adalah beban pembangunan yang takkan pernah diurus dengan baik.

Kenapa bisa demikian? Karena kita selama ini memilih pemimpin sesuai dengan apa yang ada di kepala kita. Bukan sesuai kriteria yang diajukan oleh Islam, sebagai agama yang hanif dan modern. Sudah barang tentu, pada sebuah komunitas yang banyak orang jahil, yang terpilih adalah pemimpin jahil.