Cerpen: Talak Tiga
Hujan mengguyur Teupin Mane
dengan lebatnya. Guntur berkali-kali menjilati punggung Cot Sirula-Sebuah
deretan bukit tertinggi di desaku- yang basah.
Berkali-kali aku menatap
langit yang buram menghitam. Rasanya, ribuan tusukan pedang menjamah tubuhku
yang remuk redam oleh sebuah perasaan yang tidak bisa diwakilkan oleh kata.
Hari ini, Fatimah, istri
yang paling kucintai hendak dijemput oleh ayahnya.
“Hanya ada dua pilihan.
Tetap bertahan di sini dengan segala keterbatasan. Ataukah engkau pergi dan
mengikuti keinginan orang tuamu untuk menjemput mimpi di kota dengan seseorang
yang lebih terjamin kesejahteraan duniawinya-semoga juga ukhrawi.
Aku tidak bisa memaksa
apapun padamu. Aku mencintaimu, itu benar. Tapi aku tidak ingin mengekangmu,
itu juga benar. Pilihan ada ditanganmu. Walau aku berhak untuk melarang, tapi
kini aku memberikan kemerdekan bagimu untuk memilih,” kataku membuka kebisuan.
Fatimah tidak menjawab. Semenjak
tadi dia terus terisak-isak di sudut kamar.
“Aku sayang abang. Aku sayang
abah. Aku tidak bisa memilih, Bang,” katanya sambil terisak.
“Abah sudah terlalu lama
kehilangan. Rasanya sulit untuk menolak keinginannya,” tambah Fatimah.
Aku menghela nafas panjang.
Istriku tidak bisa menentukan pilihan. Dia terpojok dalam kondisi tidak
menentu.
***
Aku bertemu dengan gadis
itu sepuluh tahun yang lalu. Saat itu aku menjadi relawan ketika gelombang
Tsunami menyapu daratan. Dia, gadis pemalu yang berkulit kuning langsat, adalah
salah satu korban ie beuna. Rumahnya di
tepi Kuala Naga bersih disapu tsunami, termasuk ibu, adik dan ayahnya.
Dia yatim piatu. Gelombang samudera
Hindia bukan hanya merenggut keluarganya saja. Tapi juga ikut membawa hanyut Hendra,
tunangan Fatimah.
Pelan namun pasti kami
mulai saling menyukai. Dia sering curi-curi pandang, bila kau ada di camp untuk urusan mengurus pengungsi. Bahkan
dia sering tersipu malu bila kebetulan berpapasan denganku.
Sebagai lelaki aku tentu
bisa menangkap sinyal tersebut. Lama-kelamaan aku semakin intens mendekat. Akhirnya,
di bawah cerah purnama, aku mengucapkan cinta dan keinginan untuk meminangnya.
Dia sempat kaget, walau
akhirnya paham dengan tujuanku. Dia mengangguk. Aku pun bahagia. Rezeki nomplok mak. Udah cantik, pintar ngaji
pula.
***
Petaka itu datang, ketika
usia pernikahan kami berusia lima tahun. Ayahnya tenyata selamat dari amuk
samudera. Dia mengetahui bahwa anaknya masih hidup dari sebuah artikel yang
pernah kutuliskan di sebuah media online.
Kebetulan aku mengisahkan pertemuanku dengan Fatimah dengan memasang foto
istriku itu.
Dia datang dengan niat
untuk menjemput Fatimah. Aku terperangah. Kemudian menjelaskan bahwa kami sudah
menikah. Namun lelaki itu bergeming. Dia tidak mau ingkar janji. Demikian alasannya.
“Bagaimana pula janji
hendak abah tunaikan, padahal kami sudah menikah dan sah menurut agama dan
negara? Apakah ada janji yang lebih besar dari komitmen saya untuk menikahi dan
melindungi anak bapak dunia akhirat?,” sergahku dengan wajah marah.
Dia tidak mau ambil peduli.
Sungguh lelaki tak tahu diri.
Aku kehilangan kata-kata
menghadapi lelaki ini. Ingin mengusir, aku tidak ingin Fatimah terluka. Apalagi
sudah 10 tahun dia tidak bertemu dengan ayahnya.
“Hendra masih hidup,
Fatimah. Dia sampai sekarang belum menikah dan terus mencarimu. Andai saja,
suami mu yang sekarang tidak membawa kamu dari tenda itu, aku yakin kalian
pasti bertemu,” kata ayah Fatimah kepada istriku.
Fatimah menunduk dan
menangis. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.
Hujan semakin tunjai. Tidak kudengar kumandang azan
asar di musala dekat sungai. Mungkin saja bilalnya tidak datang kali ini. Bukankah
hujan telah menghalangi lelaki yang dirumahnya tidak pernah punya payung?
Usai shalat aku berdoa agar
Allah mengirimkan keajaiban. Namun hingga menjelang malam, kondisi tidak mengalami
perbaikan.
“Baiklah, kalau engkau
tetap tidak bisa membuat keputusan, maka aku yang akan membuat keputusan. Aku tidak
bisa hidup dengan perempuan yang gamang dalam kondisi darurat.
Mulai malam ini,
kuikhlaskan engkau untuk mengikuti orang tuamu. Pergilah. Dan jangan kembali.
Terkait dengan Zahra, engkau tidak boleh membawanya. Dia anakku,” kataku ketus.
Saat itu aku berharap
Fatimah akan bicara dan memilih tetap bersamaku. Apa yang kusampaikan tadi
hanya gertakan biasa, agar dia cepat-cepat mengambil kesimpulan. Maafkan adinda, saya akan tetap bersama
abang! Harapku dia berkata demikian.
Namun apa yang kusampaikan
tidak pernah dia jawab. Perempuan itu hanya bisa menangis.
“Kau dengar Fatimah? Suami
kamu sudah memberikan pilihan. Ikut abah dan kita kembali ke kota atau bertahan
di sini? Bila engkau memilih yang kedua,
maka sampai abah mati pun kau jangan pernah datang menjumpaiku lagi,” katanya
sedikit mengancam.
***
Pagi ini kosong. Aku kalah.
Semalam Fatimah telah pergi meninggalkan rumah yang kami bangun dengan penuh
cinta. Zahra ikut serta. Aku tidak tega melihat gadis kecilku itu meronta ingin
ikut mamanya.
Sepi, aku dibalut kelu yang
dalam. Aku kalah. Dua bidadari kini berangkat. Mereka menghukum diriku yang
selalu mencoba menyintai mereka dengan tulus.
“Ketika kaki kalian
melangkah keluar, hanya Zahra yang boleh kembali ke rumah ini. Engkau Fatimah,
kuharamkan menginjak rumah ini, sejak sekarang sampai aku mati kelak.
Fatimah, ketika engkau menapaki
tangga yang kedua, disaksikan oleh abah dan zahra, dirimu telah kutalak tiga!,
demi Allah aku sadar ketika mengucapkan ini!,” kataku ketika dia memilih
mengikuti kehendak ayahnya.
Ada air mata yang mengalir
di sudut mata ku. Kulihat tubuh wanita yang kini haram kudekati nampak
bergetar. Namun hingga tiba di ujung jalan, dia tidak lagi menoleh. Termasuk Zahra.
[]
No comments for "Cerpen: Talak Tiga"
Post a Comment