Bintang Bulan dan Agustus yang Mentel

Oleh Muhajir Juli

Minggu pagi jelang siang, saya memutuskan menyeruput kopi di sebuah warung di pinggir Banda Aceh. Saya rindu robusta yang diracik tanpa gula. Porsi pancung yang aduhai. Ke sanalah saya melangkah, melewati berkilometer dari dari kontrakan. 

Matahari menyengat. Panas dan tidak bersahabat bagi kulit siapapun yang enggan gelap walau terlahir sebagai penduduk wilayah topis. Angin lumayan kencang. Tidak nyaman bagi siapapun yang sedang pilek. 

Bulan Agustus yang mentel. Saya menyebutkannya demikian. Bulan yang luar biasa bagi orang Aceh. Karena ada dua tanggal keramat. 15 dan 17. 15 merujuk tanggal penandatanganan perjanjian damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia pada 2005. 17, yaitu tanggal ketika Republik Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta pada 1945, memanfaatkan kekosongan kekuasaan setelah Jepang mengaku kalah dan Belanda belum kembali masuk ke Hindia Belanda. 

Pagi ini saya berharap dapat menyeruput robusta pahit gelas pancung yang beraroma harum dan rasa kopinya yang luar biasa. Harapan itu sirna. Rasa kopi terlalu biasa. Lidah saya menyecap rasa tawar. Di dalam gelas yang disajikan di meja saja, kopi kehilangan marwahnya sebagai kopi. Mungkin, peraciknya masih magang. 

Warung kopi besar dengan peracik kopi yang masih magang, dan pramusaji yang juga terlihat masih magang--melintas di depan saya dengan tubuh hanya dililit handuk, tanpa baju dan sepertinya hendak mandi pagi. Saya meyakini pemilik warkop adalah orang yang sangat baik. Di tengah ketidakpastian usaha di Aceh, dia masih berbaik hati memberikan tempat bagi yang amatiran [untuk] melatih diri. 

Di depan warkop, pekerja yang sedang memperbaiki jalan raya, dengan mesin pemotong aspal, membuat bising. Ditambah dengan asap dapur kuah beulangöng yang membuat mata perih dan tenggorokan terasa tidak nyaman. 

Saya perhatikan sekeliling. Ternyata hanya saya yang berstatus pelanggan saat ini. Selebihnya para pekerja warung. Lebih delapan orang. 

*

Sembari menyeruput kopi, saya teringat pada Aceh. Ya, Aceh paska konflik. Wilayah yang selalu memproduksi isu dan berputar-putar dengan isu yang sama setiap bulan sepanjang tahun. Seakan-akan tiap bulan sudah ditentukan tema apa yang dibahas di Aceh. Walau setiap akhir tahun, semua tema yang dibahas itu tidak menemui ujung. Menghilang seperti es di tengah panasnya jalan hitam. Seperti kentut yang hilang setelah menghadirkan bau menyengat. 

Seperti tiap Agustus. Ada dua tema besar yang dibicarakan--bahkan secara heroik-- oleh orang-orang di Aceh. MoU Helsinki, UUPA (UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh) hingga campur aduk dengan HUT RI, yang sering pula diwarnai bukan saja oleh karnaval. Juga oleh kutipan-kutipan dana yang tidak pernah dipertanggungjawabkan, dengan alasan membuat kegiatan perayaan kemerdekaan. 

MoU Helsinki kini seumpama mantra yang kian redup kekuatan mistisnya. Lebih 15 tahun rakyat dan pejabat membicarakannya tapi hanya sedikit yang bermuara bagi kesejahteraan rakyat. Isu bendera Aceh yang terus digembar-gemborkan, hingga kini masih seumpama anak yang lahir dari pernikahan siri. Ada tapi tidak dianggap ada. Tidak kurang politisi lokal bicara bendera Bintang Buleuen sudah boleh berkibar, Wali Nanggroe Paduka Yang Mulia Malik Mahmud Al-Haytar juga sudah angkat bicara, tapi hasilnya masih jauh panggang dari api. Pemerintah melalui otoritas keamanan dan pertahanan, masih melihat BB sebagai bendera separatis. Tidak boleh berkibar. Bila berkibar, yang mengibarkan akan ditangkap. 

MoU Helsinki, saya lihat semakin jauh dari harapan. Bila diibaratkan sebagai bayi, maka MoU Helsinki saat ini sedang diasuh oleh baby sitter yang tidak memahami bayi. Lihatlah, berbagai lembaga keistimewaan Aceh yang ada, apakah melibatkan para juru runding GAM? Tidak ada. Para juru runding selaku perumus, justru tidak dirangkul. Di Istana Wali Nanggroe, yang menjadi penasihat, berapa orang yang merupakan "Alumnus" MoU Helsinki? Tentu dengan kondisi demikian, Wali tidak memiliki tandem diskusi yang bukan sekadar paham regulasi, tapi menguasai semangat lahirnya tiap butir dari isi perjanjian damai. 

Demikian juga di tempat-tempat lainnya yang mandatnya menjaga kekhususan Aceh. 

Pertanyaan besarnya, di mana GAM saat ini? Di mana GAM yang merupakan para pihak yang membuat dan menandatangani perjanjian damai. Entahlah. Sesama elit GAM pun telah lama terkotak dalam faksi-faksi kecil. Bahkan tak sedikit yang menepi ke warung-warung kopi. Bernostalgia. Menyampaikan keluhan-keluhan atas sikap bekas kompatriotnya di masa perjuangan dulu. 

Kondisi ini telah telama dimanfaatkan oleh politisi dan birokrat yang berhaluan nasional. Membangun wacana bila intelektual GAM lemah dan mudah pecah. Padahal mereka sendiri--kaum berhaluan nasional-- juga tidak melakukan apa-apa untuk memperkuat kekhususan Aceh. Walau secara statistik, merekalah yang paling banyak meraup untung dari otonomi khusus yang didapatkan oleh Aceh.

Saya teringat pernyataan seorang seniman. Dia mengumpamakan Aceh saat ini seperti para pedagang di pelabuhan. Sibuk dengan produk masing-masing. "Peradaban kita masih di sana," sebutnya. Walau tak sepakat 100%, tapi yang dia sampaikan ada benarnya. 

Kita masih butuh waktu yang masih panjang untuk menjadi Aceh yang bercita-cita. Aceh yang memiliki impian. 

Kembali ke warung kopi tempat saya menyeruput robusta. Pemiliknya bervisi panjang. Melatih orang dari nol. Pada suatu ketika dia akan merengkuh untung. Walau dari sisi bisnis sangat berisiko. 

Demikian juga Aceh saat ini. Kita --walau damai sudah 15 tahun-- elit politik masih berdialektika dengan sesamanya tentang titik nol. Nol yamg sempat ditinggalkan ketika Aceh diguyur uang yang sangat banyak paska konflik dan tsunami. Elit-elit yang bergelimang uang kala itu, kini sedang kesulitan sumber pendapatan. Mereka sedang berebut posisi penasihat untuk mempertahankan gaya hidup mewahnya di tengah Aceh yang masih bermasalah dengan kemiskinan, lapangan kerja dan moral.

Bila dihubungkan dengan Covid-19, Aceh masih bergumul dengan manipulasi angka dan pemerintah yang haus pujian tapi minim kerja yang terstruktur. Pemerintah yang lebay tapi tidak mau transparan.

Kecuali warung kopi tempat saya menyeruput robusta pagi ini, yang saya yakini akan bertambah maju seiring waktu. Tahun depan, wacana keabsahan BB berkibar, implementasi MoU Helsinki dan lainnya, kembali diulang. Selanjutnya akan dilupakan seiring datangnya September. []

No comments for "Bintang Bulan dan Agustus yang Mentel"